Kamis, 03 Maret 2011

BI Pertahankan BI Rate 6,75%

Oleh: Wahid Ma'ruf
Ekonomi - Jumat, 4 Maret 2011 | 14:40 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 6,75%.


Demikian dikutip dari hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Jumat (4/3) dalam keterangan resminya. Keputusan ini tidak mengubah arah kebijakan moneter Bank Indonesia yang cenderung ketat sebagai upaya untuk pengendalian tekanan inflasi yang masih tinggi.

Bank Indonesia akan terus mewaspadai perkembangan inflasi ke depan dan menyesuaikan tingkat BI Rate secara terukur pada waktunya. Upaya pengendalian inflasi, khususnya tekanan imported inflation dari kenaikan komoditi internasional, juga diperkuat dengan terbukanya ruang penguatan nilai tukar Rupiah lebih lanjut sejalan dengan membaiknya fundamental ekonomi global.

Disamping itu, langkah pengendalian likuiditas melalui penerapan kebijakan makroprudensial dan operasi moneter juga terus diperkuat dengan tetap memperhatikan kebutuhan likuiditas perbankan yang sehat, termasuk dengan mulai berlakunya ketentuan GWM LDR dan GWM Valas per 1 Maret 2011.

Hal itu juga dilakukan melalui bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut, serta komitmen Pemerintah yang kuat untuk mengatasi tingginya harga komoditi pangan, Bank Indonesia meyakini inflasi IHK dapat dijaga pada sasarannya yakni 5%1% untuk 2011 dan 4,5%1% di 2012.

sumber : http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1292252/bi-pertahankan-bi-rate-675

Selasa, 01 Maret 2011

Karyawan BI Ingin Memonopoli Bisnis ATM?

Oleh: Bastaman
Ekonomi - Selasa, 1 Maret 2011 | 05:53 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Rencana Bank Indonesia (BI) untuk menyelaraskan seluruh jaringan nasional mesin anjungan tunai mandiri (ATM) dan kartu debit akan dilaksanakan tahun ini.

Sebagian besar bankir setuju karena program itu karena dianggap akan memberikan kemudahan bagi nasabah dalam penggunaan system alat pembayaran menggunakan kartu (APMK).

Menurut Ariwibowo, Kepala Biro Sistem Pembayaran Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI, program yang disebut dengan National Payment Gateway (NPG) itu merupakan salah satu upaya BI untuk menciptakan efisiensi dalam system pembayaran.

Yang menjadi masalah, nantinya di Tanah Air hanya ada satu perusahaan yang berfungsi sebagai switching serta menangani seluruh jaringan ATM maupun kartu debit. Padahal, saat ini ada tiga perusahaan pengelola jaringan ATM di Indonesia. Yakni PT Artajasa Pembayaran Elektronik (ATM bersama), PT Rintis Sejahtera (Prima) dan PT Daya Network Lestari (Alto).

Nah, perusahaan yang disebut-sebut bakal memonopoli jaringan ATM di Tanah Air itu adalah PT Artajasa, anak perusahaan PT Lintas Arta (milik perusahaan Indosat). Sampai tahun lalu, Artajasa sudah memiliki anggota 72 bank atau terbesar di Indonesia.

Rencana penunjukan Artajasa sebagai satu-satunya pengelola ATM di Tanah Air, konon, muncul setelah Yayasan Karyawan BI mengambil alih 50% kepemilikan di perusahaan tersebut. Tak heran bila rencana monopoli jaringan ATM oleh Artajasa ini menuai protes.

Salah satu yang tidak setuju dengan rencana BI tersebut adalah Rudy Ramli. Presiden Direktur PT Daya Network Lestari itu menilai program NPG serta penunjukan PT Artajasa sebagai satu-satunya pengelola jaringan ATM di Tanah Air bertentangan dengan Undang-undang Anti Monopoli serta persaingan usaha sehat.

“Kalau benar pengelolaan jaringan ATM dan kartu debit diserahkan ke PT Artajasa, kami akan mengadukannya ke KPPU,” kata anak pendiri Bank Bali ini. Memang wajar jika Rudy Ramli menolak rencana BI tersebut.

Soalnya, melalui program PNG, maka seluruh jaringan ATM yang dikelola PT Daya Network Lestari Aalto) maupun PT Rintis Sejahtera (Prima) akan tersambung dengan jaringan PT Artajasa (ATM Bersama).

Dengan demikian, fee yang selama ini dinikmati Alto dan Prima akan berkurang karena sebagian harus disetorkan ke Artajasa sebagai pengelola jaringan. Padahal saat ini Alto sudah memiliki anggota 16 bank, sedang Prima memiliki anggota 37 bank. [mdr]

sumber : http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1279112/karyawan-bi-ingin-memonopoli-bisnis-atm


Minggu, 27 Februari 2011

Berkarya Untuk Orang Banyak, Perbuatan yang Sangat Mulia

Haji Mohammad Bilal Idries adalah sosok pejuang yang selalu membela pekerja tanpa pamrih. Sebuah kebanggaan bagi saya bisa bergaul dengan Beliau dan bersama-sama membangun Forum Serikat Pekerja Perbankan (Indonesian Banking Union). Dan benar apa yang ditulis oleh Pak Timoteus Talip dibawah ini tentang sosok Bang Bilal.


Di dalam kehidupan yang keras ini, banyak individu-individu yang lebih mementingkan diri sendiri. Mereka mempunyai semboyan ”yang penting saya aman, selamat, berhasil... orang lain..... masabodo”. Ini yang sering kita saksikan disekitar kita atau Anda sendiri aktor intelektualnya ?


Bagi karyawan BCA yang berjumlah sekitar 25.000 orang pastilah mengenal sosok seorang pemimpin Serikat Pekerja (SP) yang bernama Haji Mohammad Bilal Idries yang akrab dipanggil Bilal. Kenapa saya mengangkat sosok Bilal ? Ya dia adalah seorang pahlawan bagi seluruh karyawan BCA. Bilal adalah tokoh utama SP yang kerap kali memperjuangkan aspirasi karyawan, membela kepentingan karyawan. Jika kita menengok ke belakang kiprah perjuangan Bilal, akan terlihat deretan hasil yang dicapai. Masih ingat peristiwa demo besar-besaran karyawan BCA ke Gedung DPR (Kamis 12 Maret 2002) memprotes kebijaksanaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang akan menjual BCA ke Bank Asing. Saat itu BCA masuk dapam pengawasan BPPN. Di dalam Gedung DPR, para pengurus teras SP berdialog dengan Amin Rais (saat itu ketua MPR-DPR) dan wakil rakyat lainnya. Betapa hebatnya perjuangan mereka sehingga akhirnya BCA tidak jadi dijual. Hari itu hampir seluruh cabang BCA beroperasi terbatas karena banyak karyawan yang ikut melakukan long march dari Wisma BCA ke Gedung DPR.


Usai kemenangan karyawan BCA, Bilal terus menapakkan langkahnya untuk terus membela kepentingan karyawan lewat Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Ini adalah PKB pertama kali yang ada di BCA. Sampai saat ini PKB sudah memasuki yang ke 5. Berbagai kemajuan, fasilitas, kesejahteraan karyawan terus meningkat berkat perjuangan mereka. Hal yang paling fenomenal khususnya untuk karyawati adalah digantinya biaya melahirkan, pengobatan anak. Ya memang wanita juga karyawan BCA dan layak mendapat fasilitas yang sama dengan karyawan pria. Banggakah Bilal demgam kesuksesannya? Jawabannya tidak, karena perjuangan ini merupakan ibadah. Dia akan terus memperjuangkan kepentingan karyawan di masa mendatang.


Saya teringat beberapa waktu silam, Bilal pernah sakit yang cukup parah dan dalam kondisi koma. Mungkin ini akibat kerja keras membela kita tanpa memperdulikan kesehatannya. Hampir tiap hari Bilal pulang ke rumah diatas jam 22.00 untuk terus menggalang kekuatan, mensosialisasikan PKB, memotivasi para pengurus, melakukan advokasi dan banyak lagi.


Saya sendiri kagum dengan Bilal yang telah berjasa begitu besar untuk kita semua. Apalah artinya jika dibandingkan dengan saya ? Saya hanya bisa menulis yang diharapkan akan membawa motivasi dan inspirasi untuk teman-teman semua.


Cuma ada hal yang sangat disayangkan, perjuangan Bilal mungkin tidak akan lama lagi karena dia akan memasuki masa purna bakti. Tapi teman-teman siap untuk meneruskan tongkat kepemimpinan dan akan terus membela orang banyak. Ya Bilal adalah pahlawan bagi karyawan, teladannya harus kita jadikan contoh. Mulai sekarang Anda semua harus mulai belajar mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan pribadi.


Saya yakin kalau itu semua terlaksana maka hidup akan menjadi lebih indah dan damai. Sukses untuk Bilal, walau nanti sudah menjadi warga purna bakti, karyamu tetap kami nantikan. Amin

sumber : http://timoteustalip.blogspot.com/2010/09/berkarya-untuk-orang-banyak-perbuatan.html

Alanda Kariza, Century dan Balada Sang Ibu

Hukum & Kriminal / Rabu, 9 Februari 2011 11:18 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Gonjang-ganjing kasus Bank Century seperti hilang ditelan waktu. Setelah ditangani aparat hukum, baik polisi, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, kasus yang sempat membuat gonjang-ganjing politik negeri ini seperti mandeg. Sulit menebak ke mana ujung akhir dari kasus Century.

Di luar kemelut politik yang mengiringi kasus Bank Century, ada kisah pilu yang nyaris tak terliput oleh media. Hiruk-pikuk kasus Bank Century yang kini berubah nama menjadi nama Bank Mutiara itu membuat hati seorang remaja berusia 19 tahun, Alanda Kariza, teriris-iris. Ia merasa keadilan di negeri ini tidak tegak penuh, tapi bengkok.

Alanda mencurahkan isi hatinya di blog pribadinya sejak Selasa (8/2) kemarin. Ia mengisahkan kasus Century yang membelit ibunya yang dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar dalam kasus Bank Century. Curahan hati penulis novel itu ramai diperbincangkan di situs microblogging Twiiter. Simpati dunia maya mengalir untuknya. Inilah curhatan Alanda: sisi lain dari kasus Bank Century yang penuh intrik politik.
****
Ibu, 10 Tahun Penjara, 10 Milyar Rupiah
Oleh: Alanda Kariza

Jika ditanya apa cita-cita saya, saya hampir selalu menjawab bahwa saya ingin membuat Ibu saya bangga. Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding mendengar Ibu menceritakan aktivitas saya kepada orang lain dengan wajah berbinar-binar. Semua mimpi yang saya bangun satu per satu, dan semoga semua bisa saya raih, saya persembahkan untuk beliau.

Belakangan ini, kita dibombardir berita buruk yang tidak habis-habisnya, dan hampir semuanya merupakan isu hukum. Saya… tidak henti-hentinya memikirkan Ibu. Terbangun di tengah malam dan menangis, kehilangan semangat untuk melakukan kegiatan rutin (termasuk, surprisingly, makan), ketidakinginan untuk menyimak berita… Entah apa lagi.

Selasa, 25 Januari 2011, periode ujian akhir semester dimulai. Hari itu juga, Ibu harus menghadiri sidang pembacaan tuntutan. Hampir tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan Ibu saya, yang sejak bulan September 2005 bekerja di Bank Century.

Hanya keluarga dan kerabat dekat kami yang mengetahui bahwa Ibu menjadi tersangka di beberapa kasus yang berhubungan dengan pencairan kredit di Bank Century. Sidang pembacaan tuntutan kemarin merupakan salah satu dari beberapa sidang terakhir di kasus pertamanya.

Sejak Bank Century di-bailout dan diambil alih oleh LPS, kira-kira bulan November 2008 (saya ingat karena baru mendapat pengumuman bahwa terpilih sebagai Global Changemaker dari Indonesia), Ibu sering sekali pulang malam, karena ada terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Saya jarang bertemu beliau. Bahkan, ketika saya berulang tahun ke-18, saya tidak bertemu dengan Ibu sama sekali karena beliau masih harus mengurus pekerjaan di kantor. Itu pertama kalinya saya berulang tahun tanpa Ibu. Seiring dengan diusutnya kasus Century, Ibu harus bolak-balik ke Bareskrim untuk diinterogasi oleh penyidik sebagai saksi untuk kasus-kasus yang melibatkan atasan-atasannya.

Sejak saya kecil, Ibu saya harus bekerja membanting tulang agar kami bisa mendapat hidup yang layak–agar saya mendapat pendidikan yang layak. Ketika saya duduk di SMP, beliau sempat di-PHK karena kantornya ditutup. Kami mengalami kesulitan keuangan pada saat itu, sampai akhirnya saya menerbitkan buku saya agar saya punya “uang saku” sendiri dan tidak merepotkan beliau, maupun Papa.

Ibu sempat menjadi broker properti, berjualan air mineral galonan, sampai berjualan mukena. Adik pertama saya, Aisya, ketika itu masih kecil. Ibu pun mengandung dan melahirkan adik kedua saya, Fara. Akhirnya, ketika buku saya terbit, beliau mendapat pekerjaan di Bank Century. Papa sudah duluan bekerja di sana, tetapi hanya sebagai staf operasional.

Saya lupa kapan… tetapi pada suatu hari, saya mendengar status Ibu di Bareskrim berubah menjadi TSK. Tersangka.



Itu merupakan hal yang tidak pernah terlintas di pikiran saya sebelumnya. Tersangka? Dalam kasus apa? Dituduh menyelewengkan uang?

Sejak Ibu bekerja di Century, hidup kami tetap biasa-biasa saja. Jabatan Ibu sebagai Kepala Divisi boleh dibilang tinggi, tetapi tidak membuat kami bisa hidup dengan berfoya-foya. Orang-orang di kantor Ibu bisa punya mobil mahal, belanja tas bagus, make up mahal… Tidak dengan Ibu. Mobil keluarga kami hanya satu, itu pun tidak mewah. Saya sekolah di SMA negeri dan tidak bisa memilih perguruan tinggi swasta untuk meneruskan pendidikan karena biayanya bergantung pada asuransi pendidikan.

Ibu tidak membiarkan saya mendaftarkan diri untuk program beasiswa di luar negeri–beliau khawatir tidak bisa menanggung biaya hidup saya di sana. Papa di-PHK segera setelah kasus Century mencuat ke permukaan. Papa tidak bekerja, hanya Ibu yang menjadi “tulang punggung” di keluarga saya. Papa dan saya sifatnya hanya “membantu”.

Saat itu, berat sekali rasanya, Ibu memiliki titel “tersangka” di suatu kasus. Saya tidak bisa mendeskripsikan perasaan saya ketika itu. Saya duduk di Kelas III SMA tatkala status Ibu berubah. Ibu jatuh sakit karena tertekan. Tepat satu hari sebelum Ujian Akhir Nasional, Ibu harus diopname, dan saya baru tahu pukul 10 malam karena keluarga saya khawatir hal ini akan mengganggu konsentrasi saya dalam menjalani ujian. Saya tidak lagi bisa memfokuskan pikiran saya terhadap UAN SMA. Pikiran saya hanya Ibu, Ibu, dan Ibu.

Sejak itu, hidup kami benar-benar berubah… walau dari luar, Ibu dan Papa berusaha terlihat biasa-biasa saja. Mereka tidak cerita banyak kepada saya. Mobil dijual dan mereka membeli yang jauh lebih murah. Kami jarang pergi jalan-jalan dan saya jarang mendapat uang jajan. Kami lebih jarang menyantap pizza hasil delivery order. Sopir diberhentikan dan hanya punya satu pembantu di rumah.

Ibu dipindahkan ke kantor cabang, sementara Papa mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Saya beruntung, mereka berdua tidak pernah menahan saya dari melakukan hal-hal yang saya mau lakukan, terutama aktivitas Global Changemakers dan IYC. Tapi, saya sadar, bahwa hidup kami benar-benar berubah.

I can live with that. I’m willing to work part time, do internships, and work my ass off to publish more and more books if it would help my parents, especially my mother. Although I don’t have my own car and I can’t shop luxurious stuff just like my friends do, I’m happy, and I’m willing to live like that. Saya mau, meski hal tersebut pasti melelahkan.

Saya memilih beasiswa dari Binus International dibanding Universitas Indonesia, salah satunya juga supaya orangtua saya tidak perlu lagi membiayai pendidikan saya. Supaya uang untuk saya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan adik-adik saya. Saya ingin mereka bisa les bahasa Inggris bertahun-tahun seperti saya dulu… siapa tahu mereka bisa memenangi kompetisi-kompetisi internasional yang bergengsi.

Awalnya pun berat bagi Ibu, tetapi lambat laun, Ibu sangat ikhlas. Ibu jarang membagi kesulitannya kepada saya–selalu disimpan sendiri atau dibagi ke Papa. Beliau hanya mengingatkan saya untuk tidak lupa shalat dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai-nilai yang baik agar beasiswa tidak dicabut. Dari apa yang dialami Ibu, saya belajar untuk tidak dengan mudah memercayai orang lain. Ibu orang baik dan hampir tidak pernah berprasangka buruk. Tapi, sepertinya kebaikannya justru dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain.

Ibu dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit bermasalah, yang disebut sebagai “kredit komando” karena bisa cair tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Beberapa kredit cair tanpa ditandatangani oleh Ibu sebelumnya. Padahal, seharusnya semua kredit baru bisa cair setelah ditandatangani oleh beliau yang menjabat sebagai Kepala Divisi Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.

“Kredit komando” ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka berdua karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan, tanda tangan Ibu pun “dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka? Nonsens.

Oleh karena itulah, saya optimistis. Saya tahu bahwa Ibu tidak bersalah, walaupun saya ‘awam’ dalam dunia hukum perbankan. Saya selalu berkata kepada Ibu bahwa semua akan baik-baik saja karena itulah yang saya percayai, bahwa negara ini (seharusnya) melindungi mereka yang tidak bersalah, bahwa negara ini adalah negara hukum.

Sampai akhirnya, pada tanggal 25 Januari 2011, sehari sebelum saya ujian Introduction to Financial Accounting, saya harus menerima sesuatu yang, sedikit-banyak, menghancurkan mimpi yang telah saya bangun bertahun-tahun, dalam sekejap.

Hari itu seharusnya menjadi hari yang biasa-biasa saja. Ujian hari itu bisa saya kerjakan dengan baik. Saya pulang cepat dari kampus, tidur siang, bangun dan menonton televisi. Ibu pulang malam. Status BBM salah seorang tante berisi: “Deep sorrow, Arga”. (Nama Ibu adalah Arga Tirta Kirana). Saat itu, untuk sejenak, saya tidak mau tahu apa yang terjadi. Hari itu, Ibu dan Papa pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mendengar pembacaan tuntutan.

Ibu dituntut kurungan 10 tahun penjara dan denda sebesar 10 miliar rupiah.

Sesak napas. Yang terasa cuma air mata yang tidak berhenti.

Mungkin, ini cuma mimpi buruk… Mungkin, ketika terbangun, ternyata kasus ini sudah berakhir, dan saya bisa menjalani hidup yang “biasa” lagi dengan Ibu, Papa, dan dua adik-adik yang masih kecil. Walau hidup kami tidak mewah, tetapi bahagia. Tidak harus ada sidang, tidak harus ada penyidikan di Bareskrim, tidak harus ada pulang larut karena harus ke kantor pengacara, tidak harus melewatkan makan malam yang biasanya dinikmati bersama-sama.

Saya kangen Ibu masak di rumah: pudding roti, spaghetti, roast chicken, sop buntut, apa pun. Saya kangen pergi ke luar kota, walau cuma ke Bogor, bersama keluarga. Hal-hal kecil yang sudah tidak bisa kami nikmati lagi. Kalau ini hanya mimpi buruk, saya mau cepat-cepat bangun.

Mungkin saya tidak sepintar banyak orang di luar sana, terutama para ahli hukum: mulai dari hakim, jaksa, sampai pengacara ataupun notaris. Saya tiga kali mencoba untuk diterima di FHUI, dan tiga kali gagal. Tapi, saya bisa menilai bahwa tuntutan yang diajukan itu tidak masuk di akal.

Gayus–kita semua tahu kasusnya, kekayaannya, kontroversinya–divonis 7 tahun penjara dan denda 300 juta. Robert Tantular dituntut hukuman penjara selama 8 tahun dan Hermanus Hasan Muslim dituntut hukuman penjara selama 6 tahun dari PN Jakarta Pusat. Lalu, mengapa Ibu 10 tahun? Setolol dan seaneh apa pun saya, saya cukup waras untuk tidak sanggup mengerti konsep tersebut menggunakan nalar dan logika saya. Apakah karena keluarga kami tidak memiliki uang? Ataukah karena Ibu justru terlalu baik?

Ini negara yang saya dulu percayai, negara yang katanya berlandaskan hukum. Atas nama Indonesia, saya dulu pergi ke forum Internasional Global Changemakers. Atas nama Indonesia, saya mengikuti summer course di Montana. Untuk Indonesia, saya memiliki ide dan mengajak teman-teman menyelenggarakan Indonesian Youth Conference 2010.

Indonesia yang sama yang membiarkan ketidakadilan menggerogoti penduduknya. Indonesia yang sama yang membiarkan siapa pun mengambinghitamkan orang lain ketika berbuat kesalahan, selama ada uang. Indonesia yang sama yang menghancurkan mimpi-mimpi saya.

“Apa yang Alanda ingin lakukan sepuluh tahun lagi?”

Sebelumnya saya tahu, saya punya begitu banyak mimpi yang ingin dicapai, untuk membuat Ibu bangga, dan–mungkin–untuk Indonesia. Ingin mendirikan sekolah supaya pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, ingin menyelenggarakan IYC terus-menerus agar ada banyak agen perubahan di Indonesia, ingin ini dan ingin itu.

Keinginan-keinginan itu mati tanpa diminta. Sekarang hanya ingin Ibu bebas dari seluruh kasus tersebut. Sekarang hanya ingin hidup bahagia bersama Ibu, Papa, dan adik-adik–di rumah kami yang tidak besar, tetapi cukup nyaman; jalan-jalan dengan mobil yang tidak mahal, tetapi bisa membawa kami pergi ke tempat-tempat menyenangkan.

Saya mau ada Ibu di ulang tahun saya yang kedua puluh, dua minggu lagi. Saya mau ada Ibu di peluncuran buku saya–seperti biasanya. Saya mau ada Ibu waktu nanti saya lulus dan diwisuda. Saya mau ada Ibu ketika saya suatu hari nanti menikah. Saya mau ada Ibu ketika saya hamil dan melahirkan anak-anak saya.

Uang, politik, hukum yang ada di negara ini menghancurkan bayangan saya tentang hal itu. Mungkin selamanya pilar-pilar hukum hanya akan mempermasalahkan kredit-kredit macet, menjebloskan orang-orang ‘kecil’ ke penjara tanpa bukti dan analisis yang komprehensif (maupun putusan yang masuk di akal), bukan 6,7T yang entah ada di mana saat ini.

Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat pemuda-pemuda optimis berhenti berkarya untuk Indonesia. Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat individu-individu brilian memilih untuk tinggal dan berkarya bagi negara lain… agar keluarga mereka tetap utuh. Supaya mereka tidak harus menghadapi ketidakadilan yang menjijikkan seperti ini.

Saya mau Ibu ada di rumah, Indonesia. Tidak di penjara, tidak di tempat lain, tetapi di rumah, bersama saya, Papa, Aisya, dan Fara.

Hari Kamis, Ibu akan membacakan pleidoi (pembelaan) di PN Jakarta Pusat. Ibu akan menceritakan seluruh kejadian yang beliau alami dan mengapa seharusnya beliau tidak mengalami tuduhan apalagi tuntutan ini.

Saya mohon doanya buat Ibu, walau mungkin Anda tidak pernah mengenalnya. Ia berjasa besar bagi saya, dan saya yakin, bagi banyak orang di luar sana. Beliau membutuhkan doa, dukungan, dan bantuan dari banyak orang.

Even if I have to let Indonesian Youth Conference go, even if I have to work hard 24/7 to live without having to ask for allowances from my mother… I’m willing to do so.

I just want her to stay with me… instead of behind those scary bars. I just want her to witness everything that I will achieve in the future. I just want her to see my little sisters grow up, beautifully. I just want her to always be there around the dining table, and we’ll have dinner together. I just want her to cook again for the whole family on Sunday mornings. I just want her to let me drive for her when she has to go somewhere. I just want her to listen to my stories about my boyfriend, my friend, campus life, or silly little things. I just want her here… Here.

I love you, Mum. I do… :’(

sumber : http://metrotvnews.com/read/news/2011/02/09/42060/Alanda-Kariza-Century-dan-Balada-Sang-Ibu