Sabtu, 19 Maret 2011

"HELP ARGA" Proteksi Pekerja Bank

Salam Solidaritas,

Indonesian Banking Union mengundang semua Pengurus dan Anggota Serikat Pekerja Perbankan untuk datang AKSI SIMPATIK HelpArga sebagai bentuk solidaritas Pekerja Perbankan di Bundaran HI pada hari senin, 21 Maret 2011 Pukul 11.00.

Saat ini mungkin kita masih dalam kondisi aman, tetapi suatu saat bisa saja hal in terjadi pada diri kita, dan siapa yang akan membantu kita ????

Bagi rekans yang ingin mengetahui kisahnya bisa baca artitel dibawah ini.


Hukum & Kriminal / Rabu, 9 Februari 2011 11:18 WIB

Metrotvnews.com, Jakarta: Gonjang-ganjing kasus Bank Century seperti hilang ditelan waktu. Setelah ditangani aparat hukum, baik polisi, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, kasus yang sempat membuat gonjang-ganjing politik negeri ini seperti mandeg. Sulit menebak ke mana ujung akhir dari kasus Century.

Di luar kemelut politik yang mengiringi kasus Bank Century, ada kisah pilu yang nyaris tak terliput oleh media. Hiruk-pikuk kasus Bank Century yang kini berubah nama menjadi nama Bank Mutiara itu membuat hati seorang remaja berusia 19 tahun, Alanda Kariza, teriris-iris. Ia merasa keadilan di negeri ini tidak tegak penuh, tapi bengkok.

Alanda mencurahkan isi hatinya di blog pribadinya sejak Selasa (8/2) kemarin. Ia mengisahkan kasus Century yang membelit ibunya yang dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar dalam kasus Bank Century. Curahan hati penulis novel itu ramai diperbincangkan di situs microblogging Twiiter. Simpati dunia maya mengalir untuknya. Inilah curhatan Alanda: sisi lain dari kasus Bank Century yang penuh intrik politik.
****
Ibu, 10 Tahun Penjara, 10 Milyar Rupiah
Oleh: Alanda Kariza

Jika ditanya apa cita-cita saya, saya hampir selalu menjawab bahwa saya ingin membuat Ibu saya bangga. Tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding mendengar Ibu menceritakan aktivitas saya kepada orang lain dengan wajah berbinar-binar. Semua mimpi yang saya bangun satu per satu, dan semoga semua bisa saya raih, saya persembahkan untuk beliau.

Belakangan ini, kita dibombardir berita buruk yang tidak habis-habisnya, dan hampir semuanya merupakan isu hukum. Saya… tidak henti-hentinya memikirkan Ibu. Terbangun di tengah malam dan menangis, kehilangan semangat untuk melakukan kegiatan rutin (termasuk, surprisingly, makan), ketidakinginan untuk menyimak berita… Entah apa lagi.

Selasa, 25 Januari 2011, periode ujian akhir semester dimulai. Hari itu juga, Ibu harus menghadiri sidang pembacaan tuntutan. Hampir tidak ada yang tahu apa yang terjadi dengan Ibu saya, yang sejak bulan September 2005 bekerja di Bank Century.

Hanya keluarga dan kerabat dekat kami yang mengetahui bahwa Ibu menjadi tersangka di beberapa kasus yang berhubungan dengan pencairan kredit di Bank Century. Sidang pembacaan tuntutan kemarin merupakan salah satu dari beberapa sidang terakhir di kasus pertamanya.

Sejak Bank Century di-bailout dan diambil alih oleh LPS, kira-kira bulan November 2008 (saya ingat karena baru mendapat pengumuman bahwa terpilih sebagai Global Changemaker dari Indonesia), Ibu sering sekali pulang malam, karena ada terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

Saya jarang bertemu beliau. Bahkan, ketika saya berulang tahun ke-18, saya tidak bertemu dengan Ibu sama sekali karena beliau masih harus mengurus pekerjaan di kantor. Itu pertama kalinya saya berulang tahun tanpa Ibu. Seiring dengan diusutnya kasus Century, Ibu harus bolak-balik ke Bareskrim untuk diinterogasi oleh penyidik sebagai saksi untuk kasus-kasus yang melibatkan atasan-atasannya.

Sejak saya kecil, Ibu saya harus bekerja membanting tulang agar kami bisa mendapat hidup yang layak–agar saya mendapat pendidikan yang layak. Ketika saya duduk di SMP, beliau sempat di-PHK karena kantornya ditutup. Kami mengalami kesulitan keuangan pada saat itu, sampai akhirnya saya menerbitkan buku saya agar saya punya “uang saku” sendiri dan tidak merepotkan beliau, maupun Papa.

Ibu sempat menjadi broker properti, berjualan air mineral galonan, sampai berjualan mukena. Adik pertama saya, Aisya, ketika itu masih kecil. Ibu pun mengandung dan melahirkan adik kedua saya, Fara. Akhirnya, ketika buku saya terbit, beliau mendapat pekerjaan di Bank Century. Papa sudah duluan bekerja di sana, tetapi hanya sebagai staf operasional.

Saya lupa kapan… tetapi pada suatu hari, saya mendengar status Ibu di Bareskrim berubah menjadi TSK. Tersangka.



Itu merupakan hal yang tidak pernah terlintas di pikiran saya sebelumnya. Tersangka? Dalam kasus apa? Dituduh menyelewengkan uang?

Sejak Ibu bekerja di Century, hidup kami tetap biasa-biasa saja. Jabatan Ibu sebagai Kepala Divisi boleh dibilang tinggi, tetapi tidak membuat kami bisa hidup dengan berfoya-foya. Orang-orang di kantor Ibu bisa punya mobil mahal, belanja tas bagus, make up mahal… Tidak dengan Ibu. Mobil keluarga kami hanya satu, itu pun tidak mewah. Saya sekolah di SMA negeri dan tidak bisa memilih perguruan tinggi swasta untuk meneruskan pendidikan karena biayanya bergantung pada asuransi pendidikan.

Ibu tidak membiarkan saya mendaftarkan diri untuk program beasiswa di luar negeri–beliau khawatir tidak bisa menanggung biaya hidup saya di sana. Papa di-PHK segera setelah kasus Century mencuat ke permukaan. Papa tidak bekerja, hanya Ibu yang menjadi “tulang punggung” di keluarga saya. Papa dan saya sifatnya hanya “membantu”.

Saat itu, berat sekali rasanya, Ibu memiliki titel “tersangka” di suatu kasus. Saya tidak bisa mendeskripsikan perasaan saya ketika itu. Saya duduk di Kelas III SMA tatkala status Ibu berubah. Ibu jatuh sakit karena tertekan. Tepat satu hari sebelum Ujian Akhir Nasional, Ibu harus diopname, dan saya baru tahu pukul 10 malam karena keluarga saya khawatir hal ini akan mengganggu konsentrasi saya dalam menjalani ujian. Saya tidak lagi bisa memfokuskan pikiran saya terhadap UAN SMA. Pikiran saya hanya Ibu, Ibu, dan Ibu.

Sejak itu, hidup kami benar-benar berubah… walau dari luar, Ibu dan Papa berusaha terlihat biasa-biasa saja. Mereka tidak cerita banyak kepada saya. Mobil dijual dan mereka membeli yang jauh lebih murah. Kami jarang pergi jalan-jalan dan saya jarang mendapat uang jajan. Kami lebih jarang menyantap pizza hasil delivery order. Sopir diberhentikan dan hanya punya satu pembantu di rumah.

Ibu dipindahkan ke kantor cabang, sementara Papa mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Saya beruntung, mereka berdua tidak pernah menahan saya dari melakukan hal-hal yang saya mau lakukan, terutama aktivitas Global Changemakers dan IYC. Tapi, saya sadar, bahwa hidup kami benar-benar berubah.

I can live with that. I’m willing to work part time, do internships, and work my ass off to publish more and more books if it would help my parents, especially my mother. Although I don’t have my own car and I can’t shop luxurious stuff just like my friends do, I’m happy, and I’m willing to live like that. Saya mau, meski hal tersebut pasti melelahkan.

Saya memilih beasiswa dari Binus International dibanding Universitas Indonesia, salah satunya juga supaya orangtua saya tidak perlu lagi membiayai pendidikan saya. Supaya uang untuk saya bisa digunakan untuk membiayai pendidikan adik-adik saya. Saya ingin mereka bisa les bahasa Inggris bertahun-tahun seperti saya dulu… siapa tahu mereka bisa memenangi kompetisi-kompetisi internasional yang bergengsi.

Awalnya pun berat bagi Ibu, tetapi lambat laun, Ibu sangat ikhlas. Ibu jarang membagi kesulitannya kepada saya–selalu disimpan sendiri atau dibagi ke Papa. Beliau hanya mengingatkan saya untuk tidak lupa shalat dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan nilai-nilai yang baik agar beasiswa tidak dicabut. Dari apa yang dialami Ibu, saya belajar untuk tidak dengan mudah memercayai orang lain. Ibu orang baik dan hampir tidak pernah berprasangka buruk. Tapi, sepertinya kebaikannya justru dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain.

Ibu dituduh terlibat dalam pencairan beberapa kredit bermasalah, yang disebut sebagai “kredit komando” karena bisa cair tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Beberapa kredit cair tanpa ditandatangani oleh Ibu sebelumnya. Padahal, seharusnya semua kredit baru bisa cair setelah ditandatangani oleh beliau yang menjabat sebagai Kepala Divisi Corporate Legal. Ya, tidak masuk akal.

“Kredit komando” ini terjadi atas perintah dua orang yang mungkin sudah familiar bagi orang-orang yang mengikuti kasus Century melalui berita, Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim. Dua orang ini sudah ditahan dan seharusnya, menurut saya, kasusnya sudah selesai. Ibu dulu hanya menjadi saksi dalam kasus mereka berdua karena kredit-kredit tersebut cair karena perintah mereka, bukan Ibu. Bahkan, tanda tangan Ibu pun “dilangkahi”. Pertanyaan saya, mengapa Ibu dijadikan tersangka? Nonsens.

Oleh karena itulah, saya optimistis. Saya tahu bahwa Ibu tidak bersalah, walaupun saya ‘awam’ dalam dunia hukum perbankan. Saya selalu berkata kepada Ibu bahwa semua akan baik-baik saja karena itulah yang saya percayai, bahwa negara ini (seharusnya) melindungi mereka yang tidak bersalah, bahwa negara ini adalah negara hukum.

Sampai akhirnya, pada tanggal 25 Januari 2011, sehari sebelum saya ujian Introduction to Financial Accounting, saya harus menerima sesuatu yang, sedikit-banyak, menghancurkan mimpi yang telah saya bangun bertahun-tahun, dalam sekejap.

Hari itu seharusnya menjadi hari yang biasa-biasa saja. Ujian hari itu bisa saya kerjakan dengan baik. Saya pulang cepat dari kampus, tidur siang, bangun dan menonton televisi. Ibu pulang malam. Status BBM salah seorang tante berisi: “Deep sorrow, Arga”. (Nama Ibu adalah Arga Tirta Kirana). Saat itu, untuk sejenak, saya tidak mau tahu apa yang terjadi. Hari itu, Ibu dan Papa pergi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mendengar pembacaan tuntutan.

Ibu dituntut kurungan 10 tahun penjara dan denda sebesar 10 miliar rupiah.

Sesak napas. Yang terasa cuma air mata yang tidak berhenti.

Mungkin, ini cuma mimpi buruk… Mungkin, ketika terbangun, ternyata kasus ini sudah berakhir, dan saya bisa menjalani hidup yang “biasa” lagi dengan Ibu, Papa, dan dua adik-adik yang masih kecil. Walau hidup kami tidak mewah, tetapi bahagia. Tidak harus ada sidang, tidak harus ada penyidikan di Bareskrim, tidak harus ada pulang larut karena harus ke kantor pengacara, tidak harus melewatkan makan malam yang biasanya dinikmati bersama-sama.

Saya kangen Ibu masak di rumah: pudding roti, spaghetti, roast chicken, sop buntut, apa pun. Saya kangen pergi ke luar kota, walau cuma ke Bogor, bersama keluarga. Hal-hal kecil yang sudah tidak bisa kami nikmati lagi. Kalau ini hanya mimpi buruk, saya mau cepat-cepat bangun.

Mungkin saya tidak sepintar banyak orang di luar sana, terutama para ahli hukum: mulai dari hakim, jaksa, sampai pengacara ataupun notaris. Saya tiga kali mencoba untuk diterima di FHUI, dan tiga kali gagal. Tapi, saya bisa menilai bahwa tuntutan yang diajukan itu tidak masuk di akal.

Gayus–kita semua tahu kasusnya, kekayaannya, kontroversinya–divonis 7 tahun penjara dan denda 300 juta. Robert Tantular dituntut hukuman penjara selama 8 tahun dan Hermanus Hasan Muslim dituntut hukuman penjara selama 6 tahun dari PN Jakarta Pusat. Lalu, mengapa Ibu 10 tahun? Setolol dan seaneh apa pun saya, saya cukup waras untuk tidak sanggup mengerti konsep tersebut menggunakan nalar dan logika saya. Apakah karena keluarga kami tidak memiliki uang? Ataukah karena Ibu justru terlalu baik?

Ini negara yang saya dulu percayai, negara yang katanya berlandaskan hukum. Atas nama Indonesia, saya dulu pergi ke forum Internasional Global Changemakers. Atas nama Indonesia, saya mengikuti summer course di Montana. Untuk Indonesia, saya memiliki ide dan mengajak teman-teman menyelenggarakan Indonesian Youth Conference 2010.

Indonesia yang sama yang membiarkan ketidakadilan menggerogoti penduduknya. Indonesia yang sama yang membiarkan siapa pun mengambinghitamkan orang lain ketika berbuat kesalahan, selama ada uang. Indonesia yang sama yang menghancurkan mimpi-mimpi saya.

“Apa yang Alanda ingin lakukan sepuluh tahun lagi?”

Sebelumnya saya tahu, saya punya begitu banyak mimpi yang ingin dicapai, untuk membuat Ibu bangga, dan–mungkin–untuk Indonesia. Ingin mendirikan sekolah supaya pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik, ingin menyelenggarakan IYC terus-menerus agar ada banyak agen perubahan di Indonesia, ingin ini dan ingin itu.

Keinginan-keinginan itu mati tanpa diminta. Sekarang hanya ingin Ibu bebas dari seluruh kasus tersebut. Sekarang hanya ingin hidup bahagia bersama Ibu, Papa, dan adik-adik–di rumah kami yang tidak besar, tetapi cukup nyaman; jalan-jalan dengan mobil yang tidak mahal, tetapi bisa membawa kami pergi ke tempat-tempat menyenangkan.

Saya mau ada Ibu di ulang tahun saya yang kedua puluh, dua minggu lagi. Saya mau ada Ibu di peluncuran buku saya–seperti biasanya. Saya mau ada Ibu waktu nanti saya lulus dan diwisuda. Saya mau ada Ibu ketika saya suatu hari nanti menikah. Saya mau ada Ibu ketika saya hamil dan melahirkan anak-anak saya.

Uang, politik, hukum yang ada di negara ini menghancurkan bayangan saya tentang hal itu. Mungkin selamanya pilar-pilar hukum hanya akan mempermasalahkan kredit-kredit macet, menjebloskan orang-orang ‘kecil’ ke penjara tanpa bukti dan analisis yang komprehensif (maupun putusan yang masuk di akal), bukan 6,7T yang entah ada di mana saat ini.

Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat pemuda-pemuda optimis berhenti berkarya untuk Indonesia. Mungkin hal-hal seperti ini yang membuat individu-individu brilian memilih untuk tinggal dan berkarya bagi negara lain… agar keluarga mereka tetap utuh. Supaya mereka tidak harus menghadapi ketidakadilan yang menjijikkan seperti ini.

Saya mau Ibu ada di rumah, Indonesia. Tidak di penjara, tidak di tempat lain, tetapi di rumah, bersama saya, Papa, Aisya, dan Fara.

Hari Kamis, Ibu akan membacakan pleidoi (pembelaan) di PN Jakarta Pusat. Ibu akan menceritakan seluruh kejadian yang beliau alami dan mengapa seharusnya beliau tidak mengalami tuduhan apalagi tuntutan ini.

Saya mohon doanya buat Ibu, walau mungkin Anda tidak pernah mengenalnya. Ia berjasa besar bagi saya, dan saya yakin, bagi banyak orang di luar sana. Beliau membutuhkan doa, dukungan, dan bantuan dari banyak orang.

Even if I have to let Indonesian Youth Conference go, even if I have to work hard 24/7 to live without having to ask for allowances from my mother… I’m willing to do so.

I just want her to stay with me… instead of behind those scary bars. I just want her to witness everything that I will achieve in the future. I just want her to see my little sisters grow up, beautifully. I just want her to always be there around the dining table, and we’ll have dinner together. I just want her to cook again for the whole family on Sunday mornings. I just want her to let me drive for her when she has to go somewhere. I just want her to listen to my stories about my boyfriend, my friend, campus life, or silly little things. I just want her here… Here.

I love you, Mum. I do… :’(

sumber : http://metrotvnews.com/read/news/2011/02/09/42060/Alanda-Kariza-Century-dan-Balada-Sang-Ibu

Rabu, 16 Maret 2011

Kisah Pencuri Kue

Seorang wanita sedang menunggu di bandara suatu malam. Masih ada beberapa jam sebelum jadwal terbangnya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan sekantong kue di toko bandara lalu menemukan tempat untuk duduk. Sambil duduk wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya.

Dalam keasyikannya tersebut ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka.Wanita tersebut mencoba mengabaikan agar tidak terjadi keributan.Ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si Pencuri Kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal sementara menit-menit berlalu.

Wanita itupun sempat berpikir Kalau aku bukan orang baik, sudah kutonjok dia! Setiap ia mengambil satu kue, Si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya satu kue tersisa, ia bertanya-tanya apa yang akan dilakukan lelaki itu. Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, Si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua. Si lelaki menawarkan separo miliknya, sementara ia makan yang separonya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berpikir Ya ampun orang ini berani sekali, dan ia juga kasar, malah ia tidak kelihatan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu kesal.

Ia menghela napas lega saat penerbangannya diumumkan. Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk menoleh pada si"Pencuri tak tahu terima kasih!". Ia naik pesawat dan duduk di kursinya, lalu mencari bukunya, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya, ia menahan napas dengan kaget. Di situ ada kantong kuenya, di depan matanya. Koq milikku ada disini erangnya dengan patah hati, Jadi kue tadi adalah miliknya dan ia mencoba berbagi. Terlambat untuk minta maaf, ia tersandar sedih. Bahwa sesungguhnya dialah yang kasar, tak tahu terima kasih dan dialah pencuri kue itu. Dalam hidup ini kisah pencuri kue seperti tadi sering terjadi.

Kita sering berprasangka dan melihat orang lain dengan kacamata kita sendiri. Serta tak jarang kita berprasangka buruk. Orang lainlah yang kasar, orang lainlah yang tak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang salah. Padahal kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri yang tidak tahu. Kita sering mengomentari, mencemooh pendapat atau gagasan orang lain sementara sebetulnya kita tidak tahu betul permasalahannya.

Selasa, 15 Maret 2011

Bos yang Baik Kunci Utama Retensi Karyawan

Dalam era yang kerap disebut sebagai "turbulent times" ini, mengelola dan meretensi karyawan hingga menghasilkan tingkat engagement yang tinggi merupakan tantangan yang berat. Namun, salah satu kuncinya sebenarnya sederhana saja meskipun tidak mudah juga untuk dilaksanakan. Kunci tersebut terletak pada para bos yang baik.

Demikian benang merah yang bisa ditarik dari presentasi yang disampaikan oleh Managing Director Indorama Group Indonesia Amit Lohia pada salah satu sesi di acara Asia HRD Congress 2008 di JCC, Jakarta yang berlangsung Selasa (22/7) hingga Kamis (24/7/08).

Diungkapkan, dalam pengalaman Indorama, bos yang baik menempati urutan pertama dari setidaknya lima faktor penggerak engagment karyawan. Menyusul kemudian "empowerment", "job charity and fit", "growth prospect" dan "compensation and flexibel reward".

"Kita berhasil mencapai tingkat retensi karyawan 97%. Namun, kegagalannya juga ada, misalnya masih banyak bos yang buruk dan masih banyak promosi karyawan yang tertunda," aku Amit.

Lebih jauh Amit melihat, kondisi dunia ketenagakerjaan dewasa ini ditandai dengan bangkitnya nilai-nilai yang "intangibles". Salah satu buktinya, kompensasi dan reward tak lagi menempati urutan pertama dalam urusan retensi dan engagment karyawan.

"Saat ini karyawan lebih mengutamakan perlakuan yang baik dari perusahaan, adanya pengakuan, dukungan dari atasan, lingkungan yang kekeluargaan serta kualitas yang seimbang antara pekerjaan dan kehidupan pribadi," papar dia.

Amit menambahkan, hal-hal tersebut harus menjadi perhatian setiap perusahaan jika ingin sukses mempertahankan dan mengikat karyawan-karyawan terbaik yang dimiliki. Namun, diingatkan agar program-program tersebut jangan hanya manis di bibir. "Di sinilah dituntut peran HR," sambung dia.

Selain memastikan komitmen dari CEO, menurut Amit, HR harus mampu menampilkan kepemimpinan yang inspirasional dan role model. "Perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan dan jadikanlah kantor sebagai tempat yang menyenangkan," tandas Amit.

sumber : http://www.portalhr.com/beritahr/organisasi/1id1047.html

Senin, 14 Maret 2011

Serikat Pekerja BUMN Serukan Boikot Australia dan Amerika

Senin, 14 Maret 2011 | 19:58 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara Bersatu menyerukan anggotanya untuk memboikot produk asal Amerika Serikat dan Australia terkait dengan bocoran kawat diplomatik Wikileaks yang dimuat The Age dan Sidney Morning Herald.

Tiga hari lalu, harian yang berbasis di Australia ini memuat bocoran kawat diplomatik Wikileaks tentang penyalahgunaan wewenang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Kami akan boikot kapal barang, dan pesawat yang masuk ke pelabuhan dan airport di Indonesia dengan tak melakukan ship handling," tulis Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Komite Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Badan Usaha Milik Negara Bersatu, Trisasono dalam siaran pers yang diterima Senin 14 Maret 2011.

Menurut Federasi, diplomat Amerika telah sengaja membuka data sampah Wikileaks. Maka pihaknya akan menyerukan anggotanya untuk memboikot produk Amerika dan Australia yang beredar serta media distribusinya.

Ancaman tak akan melakukan ship handling terutama dilakukan untuk pelabuhan Tanjung Priok, Surabaya, Belawan, dan Airplane handling di Bali dan Jakarta.

Mereka juga mengancam akan melanjutkan gugatan class action surat kabar The Age dan Sidney Morning Herald. Gugatan ini akan didaftarkan pada 15 Maret 2011 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menurut pihaknya, meski Presiden Yudhoyono belum membuat terobosan bagi kaum buruh maupun pekerja migran, tapi tindakan dua negara tersebut telah melecehkan Indonesia. "Adanya pemberitaan di surat kabar Australia sangat melecehkan harga diri bangsa Indonesia," ujar Trisasono.

Diakui Trisasono, pelecehan dua surat kabar tersebut, sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dengan pelecehan oleh negara penempatan Tenaga Kerja Indonesia. Tapi, Ia menambahkan, sebagai kaum buruh, pihaknya tak akan tinggal diam atas perlakuan kedua negara tersebut.

"Kami meminta Presiden tak terlalu merespon pemberitaan Wikileaks tersebut,
" jelas Trisasono. Ketimbang merespon pemberitaan Wikileaks, pihaknya menganjurkan untuk membantu penanganan dampak tsunami di Jepang dan antisipasi naiknya minyak dunia, nasib kesejahteraan petani dan nelayan, perlindungan pekerja migran, serta kesejahteraan buruh.


DIANING SARI


sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/kesra/2011/03/14/brk,20110314-320017,id.html

Bos Bergaji Tinggi Lebih "Kejam" pada Karyawan

Selasa, 27 Juli 2010 - 14:38 WIB

Apakah atasan Anda termasuk mereka yang bisa digolongkan sebagai bos yang "kejam"? Jika iya, berarti bos Anda bergaji sangat tinggi. Demikianlah, menurut sebuah penelitian, makin tinggi gaji para eksekutif membuat mereka makin "kejam" pada karyawan?

Hubungan antara gaji yang diterima oleh para CEO dengan perlakuan mereka terhadap karyawan diteliti oleh sebuah tim dari Rice University, Harvard University dan University of Utah. Hasilnya, makin besar kompensasi yang diterima CEO maka makin buruk perlakuannya pada karyawan.

Menurut para peneliti tersebut, peningkatan gaji membuat kekuatan seseorang bertambah. Sebagai seorang eksekutif yang dibayar lebih, para atasan akan merasa memiliki kekuasaan tinggi, dan lebih banyak kekuatan untuk "mengevaluasi" bawahannya secara lebih ketat.

Laporan penelitian bertajuk "When Executives Rake in Millions: Meanness in Organizations." itu juga menyebutkan, perlakuan "kejam" akan menjadi lebih buruk karena kesenjangan antara kompensasi CEO dan karyawan di tingkat bawah.

Ketimpangan yang cukup tinggi antara pendapatan eksekutif dan pekerja biasa membuat para eksekutif merasa kuat dan itu menyebabkan persepsi kekuasaan bahwa mereka dapat "menganiaya" bawahan.

Lalu, apakah gaji para CEO perlu diturunkan? Secara tersirat, laporan penelitian tersebut menyarankan bahwa hal itu perlu dipertimbangkan.

"Kami percaya, selain untuk menguji hubungan antara gaji para eksekutif dan kesuksesan keuangan perusahaan, penting untuk mempertimbangkan implikasi etis bahwa eksekutif dengan pendapatan lebih tinggi memperlakukan karyawan lebih kejam," kata peneliti seperti dilaporkan NY Daily News.

sumber : http://www.portalhr.com/beritahr/compensation/1id1626.html