Bankir-bankir sibuk memerangi ketakutannya sendiri. Masyarakat bisa dimangsa rumor yang beredar jika bankir menutup-nutupi kesulitan likuiditas dan solvabilitas.
Umumnya, seorang bankir paling takut jika harus berurusan dengan jaksa, hakim, dan polisi. Apalagi jika sampai namanya muncul di media massa. Tidaklah mengherankan jika terjadi tindak kriminal yang menyangkut sebuah bank, manajemennya akan berusaha menutup-nutupi supaya tidak tersebar luas.
Biasanya, kasus tersebut akan diselesaikan secara internal. Di samping takut reputasi banknya hancur, mereka takut nama baik dirinya akan tercemar dan dimasukkan ke dalam daftar orang tercela (DOT) oleh Bank Indonesia (BI). Sebab, jika seorang bankir sudah berada dalam DOT, berarti kariernya sebagai bankir sudah tertutup untuk seumur hidupnya. Suatu hal yang tidak mungkin akan terjadi dalam industri lain.
Namun, para pejabat BI tentu saja tidak takut akan dimasukkan ke dalam DOT karena BI adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan DOT terhadap bankir lain. Jadi, tak mungkin mereka menerbitkan DOT untuk mereka sendiri.
Kendati demikian, sebagai seorang bankir, tampaknya ketakutan untuk berurusan dengan jaksa, hakim, dan polisi tetap ada. Bahkan, sekarang ditambah lagi dengan ketakutan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dianggap sebagai “hantu” gentayangan yang paling menakutkan.
Barangkali ketakutan itulah yang menjadi sumber masalah yang sekarang melanda superbankir di BI. Atau, bisa jadi karena adanya seorang nonbankir yang masuk ke dalam jajaran BI, yang tidak memiliki ketakutan tersebut. Akibatnya, pejabat tinggi mereka—baik yang sudah mantan maupun yang masih aktif—yaitu gubernur, deputi gubernur, dan direktur harus berurusan dengan anggota DPR dan KPK, yang lebih menakutkan daripada jaksa, hakim, dan polisi.
Padahal, secara profesionalitas, mereka adalah bankir terbaik yang dimiliki perbankan Indonesia dengan integritas serta kompetensi yang tidak diragukan lagi. Secara naif dapat dikatakan bahwa mereka tidak merugikan siapa-siapa, apalagi memperkaya diri sendiri.
Tragisnya, karier mereka berakhir di penjara, nasibnya sama seperti bankir lain yang terlibat dalam kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI), walaupun dalam substansi yang sangat berbeda. Kata orang, roda selalu berputar.
Berdasarkan kenyataan tersebut, ternyata risiko seorang bankir—yang tampaknya prestisius itu—berat, tentunya apabila tidak berhati-hati dalam meniti buih. Mungkin ada baiknya apabila seorang bankir juga memiliki pendidikan atau pengetahuan dalam bidang hukum praktis, sehingga dapat mengurangi ketakutan mereka. Apabila mereka selalu ketakutan, banknya tidak akan berkembang sebab mereka sibuk memerangi ketakutannya sendiri.
Yang paling dikhawatirkan adalah akibat adanya ketakutan tersebut, banyak bankir yang menutup-nutupi kesulitan likuiditas dan solvabilitas banknya, sehingga masyarakat menjadi mangsa dari rumor yang beredar. BI tentu akan repot menyelamatkannya karena nasi sudah menjadi bubur. Apalagi jika sampai terjadi sekaligus terhadap beberapa bank. Justru, rumor yang tak terkendali inilah yang menjadi sumber bencana bagi perbankan.
Untuk mencegah beredarnya rumor yang tidak ada ujung pangkalnya itu, BI harus melakukan langkah-langkah preventif, bukan hanya membantah isu atau rumor yang melanda sebuah bank. Karena, tidak ada asap kalau tidak ada api.
Nah, apinya itu yang perlu dipadamkan terlebih dahulu.
Salah satu caranya adalah melakukan pengawasan yang lebih intensif dengan disertai “penyusupan” intelijen perbankan ke dalam bank yang sedang mengalami kesulitan sebelum masyarakat mengetahuinya dari rumor yang akan beredar kemudian. Pembentukan informan atau intelijen perbankan yang beroperasi secara diam-diam itu mungkin perlu dipertimbangkan.
Tapi, hal itu barangkali tidak mengurangi ketakutan seorang bankir. Bahkan, malah akan menambahnya karena mereka tambah takut kepada BI, takut kepada informan atau intelijen yang membayangi mereka. Padahal, BI merupakan pembina dan pembimbing perbankan nasional kita. Padahal, tujuan BI ingin mencegah terjadinya krisis perbankan yang sistemik.
Masalahnya adalah apakah BI memiliki sarana pengawasan alternatif lain yang canggih, yang tidak bisa dideteksi manajemen perbankan. Tidaklah mungkin bagi BI melakukan penyadapan telepon terhadap direksi dan komisaris bank yang diduga bermasalah, seperti yang dimiliki KPK.
Kalaupun penyadapan telepon ini dapat dilakukan secara diam-diam, tidak tertutup kemungkinan bahwa hal ini tidak akan bocor kepada para pengurus bank tersebut. Di Indonesia ini segala sesuatu selalu mungkin terjadi. Apalagi jika ada faktor uang yang turut menentukan.
Hal lain yang dapat dilakukan BI adalah menyewa detektif swasta yang khusus bergerak dalam bidang perbankan, yang selalu berkeliaran di dunia bisnis riil, yang menyerap semua informasi berkenaan dengan tindak tanduk sebuah bank. Apabila terdapat informasi yang negatif, BI bisa langsung bergerak melakukan penyelidikan yang lebih komprehensif.
Tentu saja, upaya semacam itu tidak mudah dilaksanakan mengingat BI terikat dengan berbagai peraturan dan prosedur birokratis yang membatasi gerak-geriknya. Tapi, BI harus berani mengambil terobosan demi kebaikan dunia perbankan nasional. Payung yuridisnya perlu dikembangkan.
Ada hal yang menarik dalam kasus Bank Century baru-baru ini dan kasus Bank Global pada 2004 lalu, yaitu adanya transaksi produk keuangan derivatif yang ternyata bodong. Nasabah tidak dapat mengklaim investasinya karena kedua bank tersebut bekerja sama dengan perusahaan sekuritas yang menerbitkan produk tersebut.
Bank lepas tangan dan tidak bertanggung jawab terhadap produk tersebut. Akibatnya, nasabah dirugikan. Tak pelak lagi, pengurus kedua bank tersebut tidak memiliki ketakutan seperti umumnya dimiliki seorang bankir. Jadi, jika seorang bankir tidak lagi memiliki ketakutan, BI harus selalu lebih waspada.
Nah, agar hal itu tidak terjadi pada bank-bank lain, tampaknya kerja sama BI dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) harus lebih ditingkatkan lagi. Terutama apabila bank memiliki aktiva berupa surat-surat berharga yang beredar di bursa internasional mengingat keterbatasan jangkauan BI dalam menelusuri peringkat serta likuiditas surat-surat berharga tersebut.
BI tidak dapat bekerja sendirian. Tapi, kadangkala hal ini pun tidak mudah direalisasikan karena terbentur tembok birokrasi yang tebal. Paling tidak, upaya kerja sama dalam bidang investigasi keuangan perlu dirintis, tanpa salah satu pihak kehilangan “muka”. (*)
Djohan Suryana, Penulis adalah pengamat perbankan.sumber : http://www.infobanknews.com/2011/04/ketakutan-seorang-bankir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar