Selasa, 19 April 2011

Serbuan Bankir Asing ke Bank Lokal

Tung Desem Waringin (Penulis adalah pelatih sukses nomor satu di Indonesia dan the most powerful people and idea in business versi sebuah majalah di Jakarta)

Yang penting adalah bagaimana bankir ini membawa perubahan dalam banknya, sehingga menjadi lebih baik, lebih profesional, yang akhirnya lebih bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dan dunia.

Banyak alasan ketika bank lokal harus menjual sahamnya kepada bank asing. Alasan pertama adalah mencari untung. Alasan kedua adalah mencari partner yang kuat untuk memenuhi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) atau manajemen yang profesional atau jaringan yang luas di luar negeri. Alasan ketiga, pemilik mau fokus ke hal lain.

Ketiga alasan tersebut masih baik-baik saja dan masih enak kedengarannya. Alasan yang tidak enak adalah kalau suatu bank dijual karena dipaksa. Dipaksa pemerintah atau dipaksa IMF. Entah IMF yang kepanjangannya benar (International Monetary Fund) atau IMF yang kepanjangannya Istri Menuntut Fulus atau bahkan yang kepanjangannya Integritas Macet Fantastik, di mana pemilik bank lokal menjual bom waktu kepada pemilik bank asing. Setelah dibeli, baru ketahuan bahwa bank tersebut hancur lebur.

Apa pun alasannya, yang jelas, begitu bank lokal dibeli bank asing, bank asing tersebut akan menempatkan bankirnya di bank lokal yang dibelinya itu. Ada bankir asing yang begitu datang sudah membawa budaya profesional. Saya kaget ketika Bank Buana—yang dulu begitu ketat dan amat jarang mengundang pembicara luar—mengundang saya memberikan pelatihan (training). Ternyata, pemilik baru, petinggi UOB dari Singapura, yang mengambil keputusan.

Ada juga bankir asing yang begitu datang sibuk merekrut tenaga profesional dari bank sana bank sini, kemudian mencoba menyatukannya dalam tim baru. Ada juga bankir asing yang ketika masuk cuma tenang-tenang saja, tidak melakukan apa-apa. Sebab, bankir dari bank lokal yang dibelinya tersebut sudah termasuk jagoan. Bahkan, ada bankir asing begitu masuk malah belajar dari bankir lokal yang memang sudah ciamik dan juara.

Kompas edisi 15 Agustus 2006 menyebutkan, aset total perbankan yang dikuasai bank asing sudah Rp635 triliun dari aset total perbankan nasional yang Rp1.519 triliun atau sekitar 42% dan rata-rata porsi saham asing di bank domestik adalah 60%. Menurut saya, selama Bank Indonesia (BI) belum diakuisisi bank asing serta pemilikan itu membawa manfaat dan kebaikan, tidak masalah suatu bank dimiliki atau dipimpin bankir asing ataupun bankir lokal.

Yang penting adalah bagaimana bankir ini membawa perubahan dalam banknya, sehingga menjadi lebih baik, lebih profesional, yang akhirnya lebih bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dan dunia.

Dan, yang harus diingat, walaupun bankir asing memiliki posisi yang tinggi, pengalaman yang luas, tingkat keahlian yang mantap, semua itu bukan jaminan bahwa mereka bisa membawa perubahan ke bank lokal dengan mudah. Ini seperti yang dialami Jack Welch ketika mengubah GE. Ada tiga tahapan yang harus dilalui Jack ketika mengubah GE. Satu, tahap perlawanan. Dua, tahap pertumbuhan. Tiga, tahap impian menjadi kenyataan.

Untuk bisa melewati tahap perlawanan, para bankir asing memerlukan tujuan (goal) yang mantap, yang dikomunikasikan secara terus-menerus dengan keras kepala dan hati yang lembut, baik melalui tatap mata secara langsung maupun melalui pelatihan yang berkesinambungan.

Juga, bisa melalui teladan para pemimpin, sehingga karyawan akhirnya menjadi seperti martir dalam mencapai tujuan. Martir adalah penyebar agama yang diterjunkan di medan yang sangat berat selama bertahun-tahun dan melakukannya dengan sepenuh hati.

Jack melakukan hal itu dengan menentukan tujuan yang sangat jelas. Anak perusahaan GE, satu, harus menjadi nomor satu atau nomor dua. Di luar itu akan diperbaiki atau dijual atau ditutup. Dua, return of investment pemegang saham harus minimal 19%. Tiga, harus punya nilai tambah keunggulan bersaing yang jelas.

Kemudian, ketika Jack menutup atau menjual perusahaan senilai US$11 miliar, dia malah membangun pusat pelatihan senilai US$56 juta yang diberi nama Crotonville. Dia mengadakan pelatihan sangat intensif untuk menyamakan persepsi pentingnya tujuan tersebut tercapai dengan semangat, integritas, dan keahlian yang terus ditingkatkan.

Ketika dirasa kurang cepat, Jack membuat workout di masing-masing perusahaan. Karyawan ditaruh di sebuah lokasi. Biasanya di hotel. Para direktur tidak diperbolehkan masuk. Kemudian, karyawan diminta merumuskan perubahan yang harus dilakukan agar bisa mencapai tujuan tersebut.

Pada akhir sesi, para direktur masuk dan memutuskan di tempat. Sebanyak 80% dari usulan dan 20% atau sisanya harus diputuskan dalam satu bulan.

Selain itu, Jack mengubah sistem kompensasi di level top executive yang ada, sekitar 400 orang. Dari total pendapatan (income) yang didapat GE dalam setahun, 50%-nya ditentukan dari produktivitas perusahaan. Dengan kepemimpinan yang kuat, tujuan yang jelas, pelatihan yang benar dan terus-menerus, serta reward punishment yang jelas, pada 1991 (sepuluh tahun Jack memimpin), seluruh perusahaan GE menjadi nomor satu dan dua. (*)

sumber : http://www.infobanknews.com/2011/04/serbuan-bankir-asing-ke-bank-lokal/

Tidak ada komentar: