REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu mendaftarkan permohonan uji materi Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi.
"Kami mendaftarkan uji materi Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang mengatur upah proses PHK yang menimbulkan macam-macam penafsiran," kata kuasa pemohon, Janses E Sihaloho, saat mendaftarkan permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Pemohon uji materi itu, selain atas nama serikat pekerja juga atas nama pribadi, yakni mantan karyawan PT Total, Rommel Antonius Ginting, yang merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pasal 155 ayat (2) menyatakan, "Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya".
Menurut Janses, pasal tersebut menyatakan selama belum ada putusan pengadilan Hubungan Industrial (PHI) khususnya dalam perselisihan PHK dan hak baik pengusaha dan pekerjanya tetap melaksanakan hak dan kewajibannya. "Pekerja tetap bekerja dengan mendapat upah dan pengusaha tetap mempekerjakan dan membayar upahnya," kata Janses.
Dia mengatakan dalam praktiknya upah proses ini terjadi dalam proses PHK di PHI yang ditafsirkan macam-macam. Janses menyebutkan pasal tersebut ada yang menafsirkan upah proses dibayar hanya 6 bulan gaji, ada juga yang menafsirkan upah proses dibayar hanya sampai putusan PHI, dan upah proses dibayar hingga putusan MA.
"Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan pemohon," katanya. Dia juga mengatakan tidak adanya penafsiran yang tegas terhadap Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan khususnya terhadap frasa "belum ditetapkan", berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan dilanggarnya hak atas rasa adil bagi para pekerja. Terlebih, pemohon I yang anggotanya hampir seluruh karyawan Pertamina.
Menurut Jansen, putusan perselisihan hubungan industrial bisa inkracht pada pengadilan tingkat pertama (pengadilan hubungan industrial dan/atau inkracht pada tingkatan kasasi (Mahkamah Agung).
"Upah proses ini seharusnya dibayar hingga putusan berkekuatan hukum tetap karena menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 jenis perselisihan hak dan PHK prosesnya hingga kasasi/PK di MA. Sementara perselisihan kepentingan dan antarserikat pekerja putusan PHI merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir," katanya.
Karena itu, lanjutnya, pihaknya meminta tafsir konstitusional atas pasal itu karena selama ini penerapannya menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), (2) UUD 1945.
"Namun, kita minta agar Pasal 155 ayat UU Ketenagakerjaan adalah konstitusional dengan Pasal 28 (1), (2) UUD 1945 sepanjang frasa 'belum ditetapkan' ditafsirkan sampai putusan PHI mempunyai kekuatan hukum tetap," kata Jansen.
sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/06/01/lm44vi-fsp-pertamina-ajukan-uji-materi-uu-ketenagakerjaan
"Kami mendaftarkan uji materi Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang mengatur upah proses PHK yang menimbulkan macam-macam penafsiran," kata kuasa pemohon, Janses E Sihaloho, saat mendaftarkan permohonan uji materi UU Ketenagakerjaan di Gedung MK Jakarta, Rabu.
Pemohon uji materi itu, selain atas nama serikat pekerja juga atas nama pribadi, yakni mantan karyawan PT Total, Rommel Antonius Ginting, yang merupakan korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pasal 155 ayat (2) menyatakan, "Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya".
Menurut Janses, pasal tersebut menyatakan selama belum ada putusan pengadilan Hubungan Industrial (PHI) khususnya dalam perselisihan PHK dan hak baik pengusaha dan pekerjanya tetap melaksanakan hak dan kewajibannya. "Pekerja tetap bekerja dengan mendapat upah dan pengusaha tetap mempekerjakan dan membayar upahnya," kata Janses.
Dia mengatakan dalam praktiknya upah proses ini terjadi dalam proses PHK di PHI yang ditafsirkan macam-macam. Janses menyebutkan pasal tersebut ada yang menafsirkan upah proses dibayar hanya 6 bulan gaji, ada juga yang menafsirkan upah proses dibayar hanya sampai putusan PHI, dan upah proses dibayar hingga putusan MA.
"Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan pemohon," katanya. Dia juga mengatakan tidak adanya penafsiran yang tegas terhadap Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan khususnya terhadap frasa "belum ditetapkan", berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan dilanggarnya hak atas rasa adil bagi para pekerja. Terlebih, pemohon I yang anggotanya hampir seluruh karyawan Pertamina.
Menurut Jansen, putusan perselisihan hubungan industrial bisa inkracht pada pengadilan tingkat pertama (pengadilan hubungan industrial dan/atau inkracht pada tingkatan kasasi (Mahkamah Agung).
"Upah proses ini seharusnya dibayar hingga putusan berkekuatan hukum tetap karena menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 jenis perselisihan hak dan PHK prosesnya hingga kasasi/PK di MA. Sementara perselisihan kepentingan dan antarserikat pekerja putusan PHI merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir," katanya.
Karena itu, lanjutnya, pihaknya meminta tafsir konstitusional atas pasal itu karena selama ini penerapannya menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), (2) UUD 1945.
"Namun, kita minta agar Pasal 155 ayat UU Ketenagakerjaan adalah konstitusional dengan Pasal 28 (1), (2) UUD 1945 sepanjang frasa 'belum ditetapkan' ditafsirkan sampai putusan PHI mempunyai kekuatan hukum tetap," kata Jansen.
sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/11/06/01/lm44vi-fsp-pertamina-ajukan-uji-materi-uu-ketenagakerjaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar