“IBUKU TIDAK BERSALAH …!”
Jakarta, 3 Maret 2011:
Sudah dua tahun kasus Arga Tirta Kirana bergulir sejak dijadikan tersangka sampai perkaranya digelar di pengadilan negeri Jakarta Pusat. Tuduhan yang didakwakan kepadanya adalah keterlibatannya dalam pencairan kredit kepada para debitur yang merugikan Bank Century sebesar tiga ratus enam puluh miliar rupiah dan beberapa kasus lainnya yang masih berjalan. Proses persidangan yang selama ini ditangani oleh tim penasehat hukum probono (bebas biaya) yang merupakan rekan-rekan Arga alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan ‘80 dari Tim Advokasi Penanggulangan Bencana Hukum dan Gani Djemat & Partners, telah memakan waktu yang begitu panjang, berbelit-belit dan sangat melelahkan.
Melalui berbagai proses persidangan melelahkan, yaitu pemeriksaan saksi, bukti, pledoi, replik dan duplik, telah memberikan dampak yang penuh tekanan dan keresahan emosional bagi Arga dan keluarganya. Bagaimana mungkin seorang karyawan yang sehari-hari berupaya menjalankan pekerjaannya sesuai dengan aturan, kepatuhan dan kebijakan kantor dan atasan, tiba-tiba disentak oleh terjadinya suatu peristiwa bobolnya bank dimana Arga bekerja, namun tuntutan terberat tanpa diduga dijatuhkan kepadanya.
Sebuah rekayasa terasa kental mewarnai tuduhan ini, seperti banyaknya peristiwa dan kasus-kasus yang sudah terjadi di negeri tercinta ini. Namun, masyarakat sekarang sudah memiliki sifat lebih kritis dan cerdas di dalam menilai berbagai bentuk kezaliman. Masyarakat sangat memahami bahwa keadilan harus ditegakkan. Mudah-mudahan keadilan dapat berpihak kepada kasus hukum yang sedang mendera Arga.
Perlawanan Alanda
Adalah Alanda, putri tercinta Arga, pada awal Februari lalu meluncurkan perlawanannya melalui tulisan-tulisannya di blog pribadi (www.alandakariza.com) yang berisi kesedihan sekaligus kemarahan hatinya terhadap apa yang menimpa ibundanya. Alanda adalah remaja berprestasi yang aktif menggerakkan generasi muda Indonesia dalam berbagai kegiatan bahkan sampai ke luar negeri membawa nama Indonesia, seperti mewakili Indonesia untuk Global Change Maker di Inggris, pendiri The Cure for Tommorow, penggagas Indonesian Youth Conference dan sering menjadi pembicara dalam berbagai seminar di Indonesia. Dalam tingginya dinamika dan semangatnya merajut prestasi, tanpa diduga Alanda harus mengalami kekecewaan mendalam karena perlakuan tidak adil yang menimpa ibunda dan keluarganya.
Dalam berbagai kesempatan, Alanda berteriak lantang, “BEBASKAN IBU SAYA. Beliau tidak mungkin berbuat itu. Saya mengenal Ibu saya dengan baik, dimana selama mendidik saya sejak kecil, beliau selalu menerapkan prinsip kejujuran, kepemimpinan, kekreatifan, kereligiusan dan integritas yang tinggi. Apa yang dituduhkan kepada ibu saya…jelas bukan beliau…that’s not my mom at all“.
Banyak pihak berpendapat bahwa pencapaian Alanda tentunya adalah hasil didikan Arga sebagai ibu yang luar biasa. Tanpa diduga, blog pribadi ini ternyata memperoleh sambutan dan simpati yang begitu menggelombang dari masyarakat luas. Berbagai dukungan positif diberikan kepada Alanda agar terus berjuang untuk pembebasan ibunda dari jerat rekayasa hukum. Ditambah dengan intervensi media, gerakan Alanda untuk membela ibunda memperoleh simpati dan dukungan yang terus meluas.
Arga Korban Rekayasa Hukum
Jeritan hati Alanda terhadap ketidak-adilan yang menimpa ibunda, memang benar adanya. Arga, menurut penasehat hukumnya, Humphrey Djemat, sejatinya sejak awal memang tak layak dijadikan terdakwa dalam kasus Bank Century ini.
“Jaksa Penuntut Umum sejak awal TELAH mengetahui bahwa sesungguhnya yang bersalah dan bertanggung jawab atas kerugian Bank Century hanyalah Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim beserta beberapa orang kaki tangan mereka, antara lain Darso Wijaya (“caretaker” Kepala Divisi Settlement Kredit dan Pelaporan Kredit), Susanna Coa (Kepala Divisi Satuan Kerja Audit Intern), Hamidy (Wakil Direktur Utama), Krishna Jagateesen (Direktur Treasury). Perlu diketahui juga bahwa Tariq Khan adalah sang penerima kredit sebesar tiga ratus enam puluh miliar, yang belakangan diketahui merupakan debitur fiktif dari empat perusahaan yaitu PT Canting Mas Persada, PT Wibowo Wadah Rejeki, PT Accent Investment Indonesia dan PT Signature Capital Indonesia. Tapi justru Argalah yang diajukan sebagai terdakwa atas kasus empat perusahaan tersebut. Itu adalah salah satu keanehan yang luar biasa”, begitu keterangannya.
Sebagai karyawan, secara struktural Arga sebenarnya berada di luar mata rantai pemberian persetujuan aliran kredit, yang secara organisasional berada dibawah kekuasaan Komite Kredit. Arga bukanlah anggota dari Komite Kredit ini. Sebagai Kepala Divisi Corporate Legal, Arga bertugas untuk melaksanakan kegiatan yang sifatnya kebijakan aspek hukum perusahaan yang bukan aktivitas operasional sehari-hari termasuk pemberian kredit. Tugas ini sudah dijalankannya sejak Arga mulai bekerja di Bank Century pada bulan September 2005, dimana pada saat itu, Bank Century yang merupakan bank baru hasil merger dari tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank CIC dan Bank BCD, memiliki sistem manajemen yang carut marut.
Budaya tiga bank sangat mewarnai bank baru ini. Sebagai karyawan yang berlatar belakang pengalaman mumpuni dari pekerjaan sebelumnya di Bank Merincorp, Arga menjalani tugasnya dengan percaya diri dan profesionalisme yang sangat tinggi. Situasi carut marut diterimanya sebagai sebuah tantangan yang konstruktif. Tanpa mengeluh, dijalanilah tantangan demi tantangan sampai Bank Century bangkit dan secara perlahan menjadi bank yang diterima masyarakat.
Arga secara struktural jelas tidak berada dalam rantai pengambil keputusan persetujuan kredit dengan demikian keputusan pemberian kredit bukan menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, sebagai penandatangan perjanjian kredit, dia hanya menjadi penerima kuasa, sehingga tanggung jawab tetap berada di tanganpemberi kuasa. Dan yang paling penting dari semuanya adalah fakta bahwa Arga tidak punya motif berbuat pidana maupun memperkaya diri sendiri dan orang lain, padahal faktor motif sangatlah penting untuk suatu dakwaan pidana.
Berikan Keadilan kepada Arga
Apa yang dialami oleh Arga tentunya bisa diempati oleh ratusan ribu karyawan bank di seluruh Indonesia, karena dalam tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir ini, berbagai peristiwa bisa terjadi kepada siapapun, namun lemahnya terapan hukum di bidang perbankan turut melemahkan sifat perbankan yang kita kenal sebagai Prudent Banking.
Arga atau siapapun juga yang berada di posisi compliant terhadap peraturan dan kebijakan perusahaan dimana dia bekerja, tentu akan mengalami shock yang luar biasa, karena justru dengan menerapkan prinsip Prudent Banking didalam pekerjaannya sehari-hari, yang seharusnya bisa melindungi dirinya, juga masa depan dan keluarganya, justru menjebloskannya ke dalam persoalan yang tidak terbayangkan sebelumnya karena adanya rekayasa.
Semoga dengan dukungan moral dan perjuangan putri tercinta Alanda, dan ratusan ribu masyarakat Indonesia, Arga bisa memperoleh keadilan yang hakiki. “Seharusnya bukan Arga yang dijadikan terdakwa, jangan sampai penyelidikan menjadi salah alamat”, kata Humphrey tegas, menutup pembicaraan.
Tim Humas Arga Tirta Kirana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar