Namun, pada saat yang sama perjuangan buruh belum berhasil mendatangkan perubahan kualitatif yang berarti terhadap kepentingan utama buruh. Proposisi ini tentu saja tak mau mengesampingkan fakta bahwa masih ada pemberangusan serikat buruh di berbagai tempat.
Pemberangusan tak lagi dalam bentuk kebijakan negara yang sistematis menumpulkan gerakan buruh seperti pada masa Orde Baru. Perlawanan terhadap serikat buruh dilakukan secara parsial dengan modus beragam.
Tersua tiga parameter standar menilai apakah serikat buruh bermanfaat kepada anggotanya: (1) bertambahkah jumlah perjanjian kerja bersama (PKB) yang dibuat; (2) membaikkah upah dan kesejahteraan buruh, termasuk jaminan sosialnya; dan (3) apakah serikat buruh berdaya memengaruhi pemerintah dan institusi politik.
Menyangkut parameter pertama, dari data yang tersedia, ternyata jumlah PKB dalam sepuluh tahun terakhir tak bertumbuh meski serikat buruh memiliki kebebasan luas dibandingkan dengan masa sebelum reformasi. Jumlah PKB 11.000, sama seperti masa Orde Baru. Jumlah peraturan perusahaan pun tetap 44.000. Idealnya, PKB harus lebih banyak dibandingkan dengan peraturan perusahaan.
PKB ada berarti serikat buruh telah memiliki anggota lebih dari 50 persen di perusahaan dan mampu berunding. Adapun peraturan perusahaan dibuat majikan karena serikat buruh kecil atau tidak eksis.
Upah buruh dalam beberapa tahun terakhir meningkat ratarata 8-10 persen. Namun, kenaikan itu lebih rendah dari tingkat inflasi. Laporan Bank Dunia Jakarta (Desember 2010) menyebutkan bahwa ada penurunan upah minimum 2 persen dalam 10 tahun terakhir, setelah memperhitungkan total kenaikan upah minimum dan total kenaikan inflasi.
Cakupan kepesertaan jaminan sosial juga tak bertumbuh signifikan. Daya serikat buruh memengaruhi kebijakan publik sedikit membaik, tetapi tak cukup optimal akibat fragmentasi gerakan buruh.
Adakah peluang?
Masih adakah peluang membuat gerakan buruh kuat? Atau, akankah serikat buruh perlahan hilang ditelan sejarah sebagai akibat ketakmampuan melakukan transformasi gerakan? Peluang masih ada bila saja ada skenario baru yang berbeda dengan skenario yang ada saat ini. Lima syarat untuk skenario baru ini.
Pertama, perlu pembersihan ”rumah serikat buruh”. Maksudnya, serikat buruh Indonesia harus disesuaikan dengan serikat buruh universal yang demokratis, independen, dan representatif. Itulah standar baku yang ditetapkan wadah serikat buruh dunia (ITUC) sebagai dasar penerimaan anggota afiliasi.
Demokratis berarti tata kelola organisasinya transparan, menghindari pemusatan kekuasaan, dan menjalankan rotasi kepemimpinan. Ini perlu sebab banyak serikat buruh yang tak mampu mengadakan rapat reguler, konstitusi tak berfungsi, pemimpin tak pernah berganti dari dulu sampai sekarang.
Independen berarti serikat buruh tidak dijadikan sebagai bagian kepentingan partai politik, pemerintah, bisnis, agama, dan etnisitas tertentu. Maka, serikat buruh harus mandiri secara finansial supaya jangan tergoda memanfaatkan serikat untuk kepentingan pribadi aktivis atau kepentingan partai politik.
Representatif berarti serikat buruh harus memiliki anggota yang relatif memadai sehingga dialah, dalam kamus Organisasi Buruh Sedunia (ILO), yang paling mewakili. Serikat buruh yang representatif pasti punya anggota berjumlah besar, iuran yang cukup, dan legitimasi kuat mewakili suara buruh.
Meski undang-undang memberi jaminan hukum bagi eksistensi serikat buruh kecil, dengan wilayah kerja seluas Indonesia, tidaklah mungkin serikat buruh kecil nasional mampu melayani kebutuhan anggota di seluruh wilayah. Pada saatnya serikat buruh seperti ini akan hilang, ditinggalkan konstituennya.
Kedua, perlu dibangun sebuah koalisi gerakan buruh yang kuat dan diikat dengan ikrar bersama atau manifesto. Setelah rumah buruh ”bersih” dengan menerapkan tiga prinsip di atas, serikat buruh yang sehaluan perlu menyatukan diri dengan membangun koalisi besar.
Untuk apa? Karena serikat buruh sekarang porak-poranda akibat terus terpecah. Hanya dengan menggabungkan dirilah, serikat buruh kuat dan bertahan hidup. Agar kuat, koalisi harus merumuskan ikrar, program, dan tujuan dalam sebuah dokumen resmi. Dan untuk mendapat pengakuan, koalisi ini harus memiliki minimal sejuta anggota. Jumlah ini tak terlalu muluk apabila mempertimbangkan 8 juta anggota serikat buruh saat ini. Dengan jumlah besar, koalisi diperhitungkan mitra dan lawan.
Ketiga, adanya prinsip dan pilihan ideologis koalisi yang jelas. Selanjutnya koalisi harus menerapkan pilihan ideologisnya sebagai alat perjuangan buruh. Ia tidak akan jadi, misalnya, alat perjuangan politik, kepentingan SARA, dan kesetaraan jender.
Keempat, meningkatkan kapasitas aktivis merumuskan kebijakan alternatif. Salah satu kritik terbesar terhadap serikat buruh: ia dianggap hanya mampu bereaksi, demonstrasi, tetapi tidak punya kapasitas menawarkan pilihan lain.
Gerakan buruh akhirnya kelihatan pemarah, tidak berkompromi, keras kepala, dan bodoh. Citra ini harus diubah dengan menaikkan kapasitas buruh berunding dan lobi berdasarkan analisis atau riset sendiri. Sumber daya dan dana untuk ini akan mudah diperoleh apabila ada koalisi.
Kelima, gerakan buruh sebagai gerakan sosial. Karena globalisasi ekonomi menciptakan keterkaitan dengan aktor sipil lain, serikat buruh harus kerja sama dengan lembaga masyarakat, seperti kelompok lingkungan hidup, antikorupsi, dan jender.
Peta jalan baru
Lima syarat di atas adalah peta jalan baru yang direkomendasikan untuk membuat gerakan buruh fungsional. Tidak saja untuk kebutuhan buruh, tetapi juga untuk memperkuat pilar ekonomi nasional.
Pengalaman internasional menunjukkan kehadiran serikat buruh yang kuat akan menurunkan disparitas ekonomi di suatu negara karena peran uniknya melakukan distribusi ekonomi melalui mekanisme upah minimum, PKB, dan pembagian keuntungan di perusahaan. Juga membantu perluasan cakupan jaminan sosial, mengawal buruh tak dieksploitasi, menyuarakan kepentingan kelompok marjinal (migran, buruh informal, PRT, dan buruh harian lepas).
Selama ini suara serikat buruh sering diabaikan karena dinilai bukan suara kolektif sehingga tak bisa maksimal mengatasi problem yang merugikan buruh: maraknya pelanggaran praktik tenaga lepas, buruh kontrak, kepastian dan penegakan aturan hukum, hingga pada ketidaksungguhan pemerintah menyelesaikan pemiskinan buruh Indonesia.
Serikat buruh yang sudah kuat dan memiliki jutaan anggota yang harus dijamin kesejahteraannya tidak akan pernah menghambat perekonomian nasional dan investasi, juga tak akan memicu instabilitas politik. (Rekson Silaban – Presiden KSBSI)
Sumber: Kompas, Sabtu 30 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar