Minggu, 10 Juli 2011

BI Sentil Kegagalan OJK di Korea

Bank Indonesia (BI) akhirnya angkat bicara setelah merasa 'dianaktirikan' selama pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) antara Pemerintah dan DPR. Bank sentral yang saat ini memegang kursi pengawasan industri perbankan menilai pembentukan OJK seharusnya dilakukan secara hati-hati.

Juru Bicara Bank Indonesia Difi Johansyah mengatakan pembentukan lembaga pengawas keuangan tersendiri yang sangat independen bukanlah solusi terhadap perkembangan sistem keuangan yang justru makin kompleks.

"Pembentukan OJK seharusnya dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan perkembangan terakhir dunia. Pembentukan lembaga pengawas keuangan tersendiri yang sangat independen bukanlah solusi terhadap perkembangan sist keuangan yg justru makin kompleks," ujarnya ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Senin (11/7/2011).

Dijelaskan Difi, pembentukan OJK yang berimplikasi pada adanya lembaga baru yang independen nantinya malah menjadi birokrasi baru yang tidak perlu. Apalagi, sambung Difi berpotensi menciptakan ketidakpastian pasar keuangan.

"Semangat pengawasan lembaga keuangan atau peningkatan pengawasan bank harus didasarkan pada prinsip menciptakan kepastian dan kejelasan tanggung jawab yang sangat penting dalam stabilitas finansial," tuturnya.

Bank sentral mencontohkan dua negara yang 'gagal' ketika menggunakan lembaga pengawas jasa keuangan independen seperti OJK yang tengah dibahas di Indonesia.

Contoh terakhir, setelah kasus Inggris sebelumnya adalah Korea yang baru-baru ini parlemennya telah memberikan mandat kepada bank sentral Korea yakni Bank Of Korea untuk dapat melakukan pemeriksaan kepada bank dalam rangka macro prudential tanpa perlu persetujuan OJK Korea (FSS).

"Drafting terakhir sudah menjurus kepada mandat Bank of Korea untuk dapat melakukan pemeriksaan tanpa izin OJK," terangnya.

Ia mengungkapkan, mandat tersebut diberikan setelah melihat tidak jalannya koordinasi antara Bank Of Korea dan FSS yang berakibat pada dilakukannya amandemen sebanyak 7 kali terhadap OJK di Korea.

"Chemistry koordinasi setelah pemisahan menyisakan kesulitan koordinasi bahkan menurut data MoU sudah 7 kali diamandemen. Kedua, secara drafting bank sentral Korea akan diberikan secara UU kewenangan kembali untuk pemeriksaan bersama tanpa harus persetujuan FSS (OJK Korea) dan ketiga yakni ada pemikiran beberapa anggota parlemen Korea untuk pemilu yang mereformasi sistem keuangan dengan mengembalikan fungsi pengawasan bank dan non bank ke bank sentral," papar Difi.

Pentingnya Koordinasi

Difi juga menegaskan, spirit pembentukan OJK di Korea adalah bersama dengan spirit dan latar belakang pembentukan OJK di Indonesia yakni setelah krisis moneter pada tahun 1997.

"Disadari bahwa solusi kestabilan finansial paska krisis 1997 tersebut dengan resep pembentukan OJK independen tidak berjalan lancar dan tidak sesuai dengan kondisi pasar keuangan sekarang yang tercermin dalam krisis 2008," terang Difi.

Menurutnya, resep tersebut tidak dapat memecahkan dua hal yakni terutam adalah masalah koordinasi.

"Ternyata koordinasi itu yang hanya bagus diucapkan tapi susah diterapkan dilapangan apalagi kalau tidak ada trust, dan semakin menyatunya industri perbankan dan industri keuangan non bank seperti pasar modal dan asuransi," tambah Difi.

Resep dari krisis 1997, sambungnya didasari bahwa instabilitas dari perbankan itu sendiri. Sedangkan Krisis 2008 dan kedepan menunjukkan instabilitas perbankan dapat disebabkan oleh gejolak diluar perbannkan seperti pasar modal yang menggerus ketahanan modal bank

"Oleh karena itu perlu pengawasan yang menyatu antara bank dan industri bukan bank khususnya pasar modal tapi tetap dalam komando bank sentral untuk memperjelas tanggung jawab dan pengambilan keputusan," tandasnya.

Seperti diketahui, pemerintah optimistis pengawasan industri perbankan dibawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan lebih efektif ketimbang dibawah Bank Indonesia (BI). Pemerintah bahkan menjamin perlindungan konsumen akan lebih difokuskan dibawah lembaga pengawas jasa keuangan tersebut.

"Dengan OJK itu ada pengawasan perbankan tentu akan dibuat lebih efektif, tetapi bukan hanya pengawasan yang akan dilakukan tetapi juga termasuk perlindungan konsumen dan upaya edukasi kepada konsumen itu kan penting," ujar Menteri Keuangan Agus Martowardoyo

Dijelaskan Agus, pengelolaan keuangan yang dipisahkan dibawah OJK sendiri secara prinsip mempu mengawasi alias memsupervisi instansi yang menghimpun dana dari masyarakat dengan lebih intensif. "Jadi semua instansi yang bisa menghimpun dana masyarakat dari bank, asuransi, dana pensiun, manager investasi itu kan semua disitu dibawah OJK maka akan lebih diawasi," terang Agus.

(dru/qom)

sumber : http://finance.detik.com/read/2011/07/11/081410/1678377/5/bi-sentil-kegagalan-ojk-di-korea?f990101mainnews

Tidak ada komentar: