ROE dan ROA tak cocok lagi untuk mengukur kinerja bank. Benarkah value at risk merupakan metode yang paling pas untuk menilai tingkat risiko? Hati-hati, pertumbuhan di atas 25% merupakan suatu ambang bahaya. Iman Sugema
Dalam The Journal of Development Studies (JDS), Diaz-Alejandro (1984), seorang ekonom terkemuka Amerika Latin yang menjadi professor of economics di Princeton University, secara menarik dan gamblang mendiskusikan perbedaan yang mendasar praktek dan kinerja perbankan dengan perusahaan nonkeuangan umumnya.
Makalahnya tersebut merupakan salah satu makalah yang paling banyak dijadikan bahan rujukan dalam mengulas sektor perbankan. Makalah itu dibuat sebagai curahan hati atas kekecewaan kinerja perbankan di negara-negara Amerika Latin, seperti Argentina, Brasil, dan Meksiko, yang telah menyebabkan negara-negara tersebut mengalami krisis keuangan secara berulang-ulang.
Saya pikir, ada baiknya mengadopsi beberapa butir pemikiran dia dalam konteks Indonesia. Sebab, kita sedang mengalami krisis yang betul-betul mirip dengan yang dialami negara-negara tersebut. Kita tidak ingin mengulangi kesalahan mereka dan kesalahan kita pada waktu lalu.
Dalam mengukur kinerja dan efektivitas praktek manajemen perbankan di Indonesia sekarang, saya menyejajarkan manajer bank praktis sama dengan tukang daging yang sehari-hari kita di pasar. Ada beberapa alasan mengapa kesimpulan ini banyak mengandung kebenaran.
Satu, ketika membeli daging di pasar, Anda akan memilih untuk masuk ke kios yang tampak bersih dan sehat. Untuk itu, setiap tukang daging akan selalu berusaha membersihkan setiap ceceran darah di meja dan lantainya agar tak ada kerumunan lalat yang membuat pembeli merasa jijik. Tentu, hal ini penting. Sebab, selain untuk menjamin kesehatan, juga diperlukan sebagai bagian dalam upaya menarik konsumen.
Itu sama halnya dengan yang dilakukan bank-bank besar sekarang. Sebagai penabung, Anda lebih suka membeli sertifikat deposito di bank-bank yang memiliki kantor yang megah dan resik ditambah senyum cantik para teller-nya.
Anda lupa bahwa transaksi di bank kebanyakan berupa future contract, yaitu penabung dijanjikan tingkat suku bunga tertentu pada masa mendatang. Anda lupa bahwa yang terpenting adalah faktor keamanan dan bukan kenyamanan. Tapi yang paling banyak ditawarkan bank-bank besar sekarang justru adalah kenyamanan bertransaksi dengan berbagai kemudahan dan fasilitas. Selain itu, mereka sekarang sangat gemar bagi-bagi hadiah mobil mewah, rumah, dan uang miliaran rupiah.
Sekarang, keamanan simpanan masyarakat tidaklah merupakan faktor yang penting untuk ditawarkan bank. Sebab, toh, mereka dilindungi blanket guarantee. Pemerintah selalu siap sedia menalangi bank-bank yang busuk.
Artinya, bagi bank, yang terpenting adalah berlomba-lomba mengumpulkan dana masyarakat sebanyak-banyaknya. Tak peduli dengan berbagai risiko yang mungkin akan dihadapi. Inilah yang disebut moral hazard.
Dua, penjual daging akan senang bila dagingnya diborong habis oleh seorang pembeli. Dia tidak peduli siapa pembelinya. Yang penting, dagangannya habis.
Demikian juga dengan bank-bank bermasalah di Indonesia. Sebelum krisis, pemilik bank atau perusahaan terkait secara jor-joran meminjam ke bank miliknya sendiri. Bank badan usaha milik negara (BUMN) juga memberikan kredit dalam skala raksasa kepada segelintir konglomerat. Akibatnya, lacur, portofolio menjadi tidak tersebar dan bank menjadi rawan terhadap kredit macet.
Sekarang pun demikian, bank senang menimbun obligasi rekap dengan suku bunga mengambang. Kalaupun ada kelebihan dana, mereka lebih senang membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan volume yang besar ketimbang menyalurkannya dalam bentuk kredit ke pengusaha kecil dan menengah.
Tiga, kinerja keuangan tukang daging sering diukur dengan tingkat keuntungan yang dihasilkannya. Anehnya, bank juga demikian, yaitu dengan menggunakan return on equity (ROE) dan return on assets (ROA). ROE dan ROA jelas hanya metode akuntansi yang hanya cocok untuk perusahaan biasa dan bukan bank.
Masalahnya, keuntungan bank sekarang tidak merefleksikan jumlah pendapatan dan risiko pada masa mendatang. Padahal, transaksi kredit dan deposit merupakan kontrak atau perikatan mengenai kewajiban dan pendapatan pada masa mendatang. Jadi, seharusnya, keuntungan sekarang dikoreksi dengan nilai risiko yang akan timbul.
Salah satu metode yang paling gres saat ini untuk menilai tingkat risiko adalah value at risk (VAR). VAR juga dapat membantu kita dalam menghitung tingkat kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR). Sehingga kita mendapatkan gambaran yang jelas mengenai nilai aset yang sesungguhnya dimiliki bank.
Sayangnya, VAR belum banyak diadopsi kalangan perbankan. Bank Indonesia (BI) pun belum menetapkannya sebagai salah satu kriteria untuk menilai tingkat kesehatan bank, sehingga perlu dicantumkan dalam laporan keuangan bank secara publik.
Empat, usaha tukang daging dikatakan berkembang kalau dia mampu mencapai peningkatan volume usaha yang pesat. Makin banyak pelanggan dan makin banyak jumlah daging yang terjual, makin banyak pula keuntungan yang dapat diraup.
Bank di Indonesia tampaknya juga demikian, mirip dengan tukang daging. Bahkan, hampir semua bank besar berlomba-lomba mengeruk dana masyarakat sebesar-besarnya. Terkadang, pertumbuhan yang fantastis merupakan ukuran sukses yang berlebihan.
Contohnya adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Sebelum krisis, bank tersebut secara bangga melaporkan pertumbuhan aset sebesar 200% pada 1996-1997. Demikian juga dengan bank-bank besar lain saat ini.
Padahal, bagi sebuah bank, pertumbuhan di atas 25% merupakan suatu ambang bahaya. Penelitian Stravlos (1994) di Amerika menunjukkan bahwa bank-bank yang bankrupt pada krisis saving and loans (S&L) pada 1980-an selalu mengalami pertumbuhan yang fantastis beberapa tahun sebelumnya. Demikian juga penelitian saya menunjukkan bahwa bank-bank yang terjebak dalam krisis adalah mereka yang memiliki pertumbuhan aset dan kredit di atas 50% per tahun.
Pertumbuhan yang tinggi, menurut Stravlos, cenderung berasosiasi dengan memburuknya portofolio aset bank karena tidak didukung dengan kemampuan sumber daya manusia dalam credit assessment dan portfolio screening.
Selain itu, pertumbuhan yang tinggi memiliki dampak terhadap memburuknya tingkat risiko. Sebab, bank harus memberikan kredit kepada jenis usaha yang bukan core business-nya (entering new market). Jadi, kontradiksi dengan anggapan umum, bank yang lebih konservatif adalah bank memiliki tingkat keamanan yang lebih baik.
Bahkan, beberapa bank yang konservatif, seperti Bank Dagang Bali, cenderung menahan laju perkembangan portofolio kredit dengan cara menahan asetnya dalam bentuk reserve. Tak ayal, dengan langkah seperti itu, reserve ratio menjadi tinggi dan asetnya menjadi lebih likuid.
Lima, kios daging yang berskala besar selalu dipercayai sebagai lebih bonafide. Begitu pun dengan bank yang besar, selalu lebih dipercaya sebagai bank yang lebih sehat.
Namun, kalau Anda tahu, yang sebenarnya adalah bank-bank yang berukuran menengah justru lebih efisien dan lebih aman. Kenapa? Bank tentu memiliki struktur birokrasi yang cenderung makin rumit dengan meningkatnya skala usaha. Sehingga penanganan risiko menjadi lebih sulit di bank-bank yang berukuran lebih besar.
Dengan demikian, ada economies of scale yang menyebabkan ukuran yang besar menjadi tidak lebih efisien. Hal ini juga didukung Economic Review yang dipublikasikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang menunjukkan bahwa efisiensi teknis menjadi makin menurun dengan bertambahnya ukuran bank. Artinya, merger beberapa bank tidak dengan sendirinya akan menyebabkan kondisi kesehatan finansial bank menjadi lebih baik.
Dari uraian di atas, kita tahu bahwa evaluasi atas kinerja perbankan tidak bisa dilakukan dengan metode accounting yang sama dengan perusahaan-perusahaan umumnya. Tapi sayang bahwa pengelolaan bank di Indonesia masih mirip dengan cara mengelola suatu kios daging. Tak heran jika masih banyak bank yang berdarah-darah. Hanya hidup dengan mengisap bunga obligasi dan SBI. (*)
Penulis adalah pengamat ekonomi dan perbankan.
sumber : www.infobanknews.com
1 komentar:
Hai. aku juga punya materi yang berhubungan dengan kinerja bank. kunjungi saja di.
http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2232/1/Analisis%20Kinerja%20Perbankan%20yang
%20mengadopsi%20standar%20pelaporan%20internasional%20(IFRS)%20berdasarkan%20harga
%20saham,laba%20per%20saham%20dan%20kapitalitas%20pasar004.pdf
Posting Komentar