Selasa, 14 Juni 2011

Rencana Keuangan Individu

Ketidaktahuan masyarakat tentang ragam intrumen investasi itu dan miskinnya promosi membuat kegiataan bisnis mereka tidak berkembang sebagaimana bisnis perbankan dan asuransi. Tim Infobank

Bagi orang bijak, uang hanyalah alat untuk mencapai tujuan hidup. Tapi, sebagai alat, uang punya daya pukau, sehingga bisa menjadi alat yang “liar”. Karena itu, orang harus mampu mengendalikannya. Bukan sebaliknya, yakni malah dirinya dikendalikan uang.

Salah satu cara mengendalikan uang adalah membuat rencana keuangan. Tapi seberapa banyak orang yang memiliki rencana seperti itu? Apakah orang kaya yang memiliki kelebihan uang memiliki rencana keuangan yang tepat? Berapa banyak orang kaya yang memiliki perencanaan keuangan? Kelebihan uang yang dimiliki mereka dipergunakan untuk keperluan apa saja? Produk keuangan apa saja yang mereka manfaatkan selama ini? Bagaimana perilaku mereka dalam berinvestasi?

Berdasarkan hasil survei NFO Consensus, perusahaan jasa survei, sebanyak 500 pria atau wanita pengambil keputusan dalam rumah tangga di Jakarta dan Surabaya dipilih secara acak sebagai responden untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu.

Bagaimana hasilnya? Sungguh mengejutkan. Ternyata, sebagian besar (75%) responden yang berpenghasilan minimum Rp3 juta dan berpengeluaran minimum Rp1 juta per bulan (golongan AB) itu hanya memiliki kebiasaan membuat perencanaan/anggaran keuangan rumah tangga secara sederhana. Cuma 10% yang memiliki kebiasaan menyusunnya secara teliti. Sedangkan sisanya (15%) tidak memiliki kebiasaan itu.

Perihal perilaku berinvestasi, ternyata, sebagian besar dari mereka hanya mengetahui ragam instrumen investasi berupa tabungan, deposito, properti, dan asuransi. Tak heran bila mereka menganggap tabungan (71%), deposito (49%), properti (23%), dan asuransi (23%) sebagai instrumen investasi yang paling sesuai. Pilihan tersebut, boleh jadi, karena mereka memahami investasi yang baik sebagai investasi yang mudah dicairkan (87%).

Potret seperti itu diperkirakan terekam karena sejumlah hal. Satu, adanya risiko tinggi yang disebabkan kondisi makro-ekonomi atau lingkungan bisnis yang belum normal hingga saat ini. Karena itu, pemilik uang secara naluriah bersikap ekstrahati-hati jika ingin berinvestasi. Menyimpan uang di bank (tabungan ataupun deposito) dan membeli produk asuransi menjadi pilihan dominan lantaran ragam instrumen investasi itulah yang dianggap paling tepat, aman, dan berisiko kecil.

Dua, mereka memang benar-benar tidak mengetahui atau mengenal ragam instrumen investasi lain, kendati mereka termasuk dalam kelompok kalangan berduit. Artinya, pengetahuan mereka tentang ragam instrumen investasi rada dangkal.

Kondisi tersebut dapat dimaklumi. Sebab, instrumen investasi lain, seperti reksa dana dan obligasi, merupakan barang baru di dunia bisnis di Tanah Air. Mereka yang memahaminya hanyalah kalangan yang dekat dengan dunia tersebut. Begitu juga dengan saham, yang hingga kini belum memasyarakat.

Tak heran kalau kegiatan perdagangan saham di lantai bursa umumnya didominasi investor asing atau investor korporat. Sedangkan peran investor perorangan, kalaupun ada, relatif sangat kecil.

Hasil survei seperti itu tentu dapat menjadi bahan renungan bagi pelaku bisnis di sektor keuangan (kalangan perbankan, asuransi, pasar modal, dan reksa dana) bahwa potensi pasar individual masih sangat besar. Mereka, terutama di luar kalangan perbankan dan asuransi, mesti menyusun strategi yang lebih baik pada masa mendatang supaya mampu menggarap lebih baik lagi lahan bisnis yang menggiurkan itu.

Salah satu strategi yang perlu lebih digarap adalah sosialisasi melalui promosi. Sebab, selama ini, lembaga keuangan di luar bank dan asuransi itu memang belum memromosikan bisnisnya secara oprtimal. Ketidaktahuan masyarakat tentang ragam intrumen investasi itu dan miskinnya promosi membuat kegiataan bisnis mereka tidak berkembang sebagaimana bisnis perbankan dan asuransi.

Perbankan dan asuransi memang telah melangkah jauh meninggalkan mereka dalam hal promosi. Mereka tak segan mengeluarkan biaya promosi yang besar karena imbal baliknya memang signifikan. Tak heran bila mereka berani memanfaatkan seluruh media yang ada, mulai dari media cetak seperti koran, tabloid, dan majalah hingga media elektronik seperti radio dan televisi.

Bahkan, sekarang, mereka telah merambah ke multimedia dengan memanfaatkan sarana internet dan telepon yang dikemas secara menarik dan inovatif. Selain itu, produk yang ditawarkan mereka pun sangat beragam dan menarik sesuai dengan selera konsumen masa kini.

Selain itu, mumpung situasi makro-ekonomi mulai membaik, para pelaku bisnis di sektor keuangan selayaknya segera meninjau ulang strategi bisnis masing-masing. Boleh jadi, strategi yang selama ini diterapkan sudah tak cocok lagi dengan perkembangan mutakhir. Salah satu perkembangan mutakhir yang pantas dijadikan rujukan adalah hasil survei tadi. Jadi, jangan sia-siakan momentum yang tepat ini. (*)

sumber : infobanknews.com

Tidak ada komentar: